Akomodasi Budaya Dalam Gereja Katolik
Gereja
Katolik di Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat, dipanggil untuk hidup dan
berkembang di tengah kekayaan budaya yang begitu beragam. Indonesia kita ini
dikenal sebagai negara yang sangat kaya akan budaya. Tentu saja, Gereja Katolik
bukanlah sebuah entitas yang berdiri sendiri di luar realitas kebudayaan ini,
melainkan harus menyapa, berdialog, dan menyatu dengan budaya setempat.
Namun, bagaimana cara Gereja berinteraksi dengan budaya? Tentu bukan dengan menghancurkan atau mengabaikan budaya, melainkan melalui akomodasi. Akomodasi budaya adalah upaya Gereja untuk memasukkan unsur-unsur budaya lokal ke dalam praktik liturgis, teologis, dan pastoralnya. Ini adalah bentuk dialog yang saling menghargai.
Akomodasi
budaya ini merupakan salah satu pilar penting dalam konsep Moderasi Beragama.
Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama agar tidak ekstrem,
tetapi berada di jalan tengah. Kementerian Agama Republik Indonesia merumuskan
empat pilar utama dalam moderasi beragama, yaitu:
1.
Komitmen Kebangsaan:
Menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara.
2.
Toleransi:
Menghargai perbedaan agama.
3.
Anti-Kekerasan:
Menolak segala bentuk kekerasan atas nama agama.
4.
Akomodasi Terhadap Budaya
Lokal: Menghargai dan menyerap budaya lokal.
Akomodasi terhadap budaya lokal dalam konteks moderasi beragama, khususnya dari perspektif iman Katolik. Mengapa ini penting? Karena dengan mengakomodasi budaya, Gereja menunjukkan bahwa iman tidak bertentangan dengan identitas budaya, melainkan dapat memperkaya dan disempurnakan olehnya.
Dalam kehidupan beragama, kita diajak untuk hidup rukun, saling menghormati, dan membangun persaudaraan tanpa menghilangkan jati diri budaya masing-masing. Pilar ke-4 dalam moderasi beragama menegaskan bahwa beragama tidak berarti harus mengabaikan warisan budaya lokal yang sudah ada. Justru, iman dan budaya dapat saling melengkapi dan memperkaya satu sama lain.
Akomodasi
budaya dalam Iman Katolik disebut inkulturasi, yaitu proses
pengintegrasian nilai-nilai Kristiani dengan kebudayaan lokal agar iman dapat
diungkapkan secara lebih bermakna dan mengakar dalam konteks masyarakat
setempat. Ini melibatkan penyesuaian ekspresi liturgis, teologi, dan praktik
hidup menggereja agar sejalan dengan kebudayaan, namun tetap berpegang pada
ajaran inti Gereja dan menghindari sinkretismem yaitu dengan cara :
·
Dengan menyelaraskan iman
dengan budaya, pesan Injil menjadi lebih mudah dipahami dan relevan bagi
masyarakat lokal.
·
Menciptakan Kesatuan yang
Baru:Inkulturasi menciptakan kesatuan baru antara
pengalaman Kristiani dan budaya lokal, yang juga memperkaya Gereja
universal.
·
Menghargai Kebhinekaan Budaya:Gereja
Katolik, seperti yang ditekankan dalam Konsili Vatikan II, menghargai berbagai
budaya sebagai ciptaan Allah dan berupaya untuk menyatukan iman dalam keragaman
tersebut.
·
Menyucikan dan Memurnikan
Budaya:Inkulturasi juga melibatkan upaya Gereja untuk
membersihkan dan menyucikan budaya lokal agar sejalan dengan nilai-nilai
Injil.
Sebagai
umat Katolik, kita mengenal bahwa Gereja Katolik telah lama membuka diri untuk
mengakomodasi budaya lokal dalam praktik keagamaan. Sejarah menunjukkan bagaimana
Gereja tidak memaksakan budaya Eropa, melainkan mengintegrasikan unsur-unsur
budaya lokal agar Injil dapat lebih mudah diterima dan dirayakan.
Contohnya:
·
Liturgi dan Musik
yang menggunakan alat musik tradisional dan bahasa daerah.
·
Simbol dan Lambang
yang disesuaikan dengan budaya setempat seperti ornamen batik, ukiran khas
daerah, atau tarian adat yang diadaptasi dalam perayaan Gereja.
·
Nilai-nilai Lokal
yang sejalan dengan ajaran Kristus, seperti gotong royong, rasa hormat kepada
orang tua, dan solidaritas sosial, dijadikan kekayaan dalam kehidupan beriman.
Paus Yohanes Paulus II pernah menyatakan, bahwa evangelisasi bukan berarti meniadakan budaya asli, melainkan mengangkatnya ke dalam terang Injil. Ini merupakan bentuk moderasi beragama, yakni keseimbangan antara mempertahankan iman yang benar dan menghargai keberagaman budaya.
Akomodasi
budaya bukanlah sekadar teori, melainkan sudah dipraktikkan oleh Gereja Katolik
di berbagai tempat di Indonesia. Mari kita lihat beberapa contoh nyata
Akomodasi Budaya dalam Gereja Katolik :
Liturgi
Inkulturatif:
·
Di beberapa paroki di Jawa,
Misa menggunakan gamelan sebagai musik pengiring, dan imam mengenakan busana
tradisional Jawa.
·
Di Papua, lagu-lagu liturgi
diiringi oleh alat musik tradisional Tifa.
·
Di Bali, Misa diiringi oleh
alunan rindik.
·
Di Toraja, ritus pemakaman
Katolik kadang mengadopsi upacara adat Rambu Solo' dengan inkulturasi doa-doa
Katolik.
Seni
Bangunan Gereja:
·
Gereja Hati Kudus Yesus di Ganjuran,
Yogyakarta, merupakan contoh luar biasa. Bangunan gereja ini memadukan
arsitektur Jawa dengan sentuhan Katolik. Patung Hati Kudus Yesus mengenakan
pakaian raja Jawa, dan interior gereja menyerupai pura.
·
Gereja Santa Maria Tak Bernoda
di Bali yang arsitekturnya menyerupai pura.
·
Gereja Santo Yohanes di
Ambarawa yang menggabungkan elemen bangunan khas Jawa dan Belanda.
Nilai-nilai
Budaya:
·
Semangat gotong royong dan
kebersamaan yang menjadi ciri khas bangsa kita sangat selaras dengan
nilai-nilai Kristiani tentang persekutuan dan pelayanan.
·
Penghormatan terhadap leluhur
dalam budaya, diselaraskan dengan doa-doa Gereja untuk arwah orang beriman.
Akomodasi
Budaya dalam Konteks Indonesia.
Indonesia
adalah negeri yang kaya dengan budaya dan tradisi yang beragam. Sebagai umat
Katolik di Indonesia, kita dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia,
termasuk dalam menjaga harmonisasi antara iman dan budaya.
Mari
kita lihat contoh konkret:
·
Dalam beberapa daerah, umat
Katolik merayakan misa dengan mengenakan pakaian adat, yang memberikan
penghormatan kepada leluhur sekaligus menyampaikan pesan Injil.
·
Perayaan pesta-pesta umat
Katolik yang mengintegrasikan tarian dan musik tradisional.
·
Adat istiadat lokal dalam tata
cara perkawinan dan kematian yang dihormati dengan tetap mengacu pada ajaran
Gereja.
Hal
ini bukan hanya memperkaya iman, tetapi juga memperkuat persatuan dan toleransi
antarumat beragama dan antarbudaya.
Tantangan
dan Manfaat Akomodasi Budaya
Ada sebuah diskusi menarik terkait akomodasi budaya dalam Gereja Katolik. Jika diijinkan ada Misa Imlek, tentu juga diijinkan Misa Suroan. Lalu apakah Misa Jumat Legi dan juga Misa Ruwatan juga diijinkan? Kalau semua ini terjadi, apakah tidak terjadi sinkretisme dalam Gereja Katolik? Di mana kemurnian ajaran Gereja?
Pertama,
semua contoh yang disebutkan dalam pertanyaan di atas harus dilihat dalam
kerangka hubungan antara iman dan budaya. Iman Katolik tidak terikat secara
eksklusif pada satu budaya, tapi bisa diungkapkan dalam aneka budaya. Gereja
mampu menjalin persekutuan dengan pelbagai pola kebudayaan (GS 58).
Teori di atas nampak sederhana dan mudah, namun pelaksanaan teori tersebut sungguh penuh tantangan dan kesulitan, karena makna yang terkait erat dengan unsur-unsur budaya itu tak selalu cocok dan selaras dengan pengertian Kristiani tentang Allah, manusia, dan keselamatan. Maka tugas Gereja adalah “membaptis” unsur-unsur budaya itu agar dapat digunakan sebagai ungkapan iman Katolik. “Gereja memajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan dan adat-istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan, menguatkan serta mengangkatnya” (LG 13). Persenyawaan iman dan budaya adalah proses yang dinamis dan terus-menerus. Sejarah Gereja menunjukkan, bahwa proses inkulturasi seperti ini harus melalui jatuh bangun pemurnian dalam bimbingan Roh Kudus.
Kedua,
sinkretisme ialah mencampuradukkan aneka ajaran atau praktik keagamaan yang
berbeda dan bahkan bertolak-belakang asal-usul dan maknanya. Dalam sinkretisme
tidak terjadi persenyawaan yang total antara iman dan budaya, tetapi
masing-masing tetap mempertahankan makna. Proses pemurnian budaya tidak
terjadi. Sinkretisme sering terjadi ketika iman dipertemukan dengan budaya baru
tanpa sikap kritis tentang makna yang terkait dengan unsur-unsur budaya itu.
Persenyawaan
antara iman dan budaya pasti selalu akan berhadapan dengan bahaya sinkretisme
karena persenyawaan ini pasti melalui usaha trial and error, tidak sekali jadi.
Usaha inkulturasi harus terus-menerus direfleksikan secara kritis. Inilah
risiko nyata yang harus dihadapi jika kita ingin agar iman kita sungguh
mengakar dalam budaya dan meresapi budaya. Kesadaran kita yang ingin
menghindari sinkretisme dan sungguh-sungguh menjadi 100% Katolik dan 100%
Indonesia, maka kita harus berani mencoba, dan kemudian merefleksikan secara
kritis. Inilah proses pertimbangan bersama dalam Gereja, common discernment.
Perlu terjadi proses timbal-balik, praktik menjabarkan dan memperjelas ajaran,
dan ajaran merumuskan serta memurnikan praktik. Praktik yang tidak
direfleksikan cenderung jatuh pada sinkretisme.
Jika kita tidak berani menghadapi bahaya sinkretisme dengan tetap mempertahankan penghayatan iman di luar budaya, maka iman akan terasing dari lubuk hati penghayatnya, tidak bisa dimengerti dan tidak meyakinkan. Seolah iman menikmati kemewahan dan keterasingan di menara gading.
Paus Paulus VI dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi no.20 menegaskan, “Pembangunan Kerajaan Allah tak dapat tidak harus meminjam unsur-unsur dari kebudayaan manusia atau kebudayaan-kebudayaan. Meskipun tidak tergantung pada kebudayaan, Injil dan penginjilan tidak harus bertentangan dengan kebudayaan. Malahan dapat merasuki kebudayaan tanpa menjadi tunduk terhadapnya. Perpisahan antara Injil dan kebudayaan tak dapat diragukan lagi merupakan suatu drama untuk zaman kita, seperti juga untuk zaman-zaman lain. Maka, setiap usaha harus dilakukan demi menjamin penginjilan kebudayaan sepenuhnya, atau lebih tepat kebudayaan-kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan harus dilahirkan kembali dalam suatu pertemuan dengan Injil. Namun pertemuan itu tidak akan terjadi bila Injil tidak diwartakan.”
Mengakomodasi
budaya lokal bukan tanpa tantangan. Ada kekhawatiran akan sinkretisme yang
berlebihan, atau kehilangan esensi ajaran iman. Namun, dengan bimbingan Roh
Kudus dan ajaran Gereja, kita dapat bijak dalam memadukan iman dan budaya
sehingga keduanya saling memperkaya dan memperkuat. Tantangan yang harus
dihadapi, seperti:
1. Pemisahan
yang Tepat: Perlu ada kehati-hatian dalam membedakan
antara unsur budaya yang dapat memperkaya iman dan yang bertentangan dengan
ajaran Gereja.
2. Penolakan:
Kadang, ada penolakan dari sebagian umat yang menganggap praktik ini
mencampuradukkan iman dengan hal-hal yang dianggap 'bukan Katolik'.
3. Kurangnya
Pemahaman: Banyak umat yang belum memahami makna
teologis di balik akomodasi budaya.
Namun,
manfaatnya jauh lebih besar:
1. Memperkuat
Identitas Katolik di Indonesia: Akomodasi budaya
membuat Gereja Katolik terasa lebih 'rumah' bagi umat di Indonesia.
2. Meningkatkan
Dialog Antaragama: Dengan menghargai budaya,
Gereja menunjukkan sikap terbuka dan menghargai kekayaan lokal, yang secara
tidak langsung membangun jembatan dengan pemeluk agama lain.
3. Memberikan Kesaksian Iman yang Kontekstual: Iman yang dihayati dalam konteks budaya akan lebih mudah dipahami dan dihayati oleh umat setempat.
Harapan
kita bersama, melalui moderasi beragama yang mengakomodasi budaya lokal,
Indonesia akan semakin harmonis, umat Katolik semakin kuat berakar dalam
budaya, dan persaudaraan antarumat beragama semakin kokoh.
Makna
dan Implementasi Pilar ke-4 Moderasi Beragama:
Moderasi beragama adalah sikap yang menempatkan iman dalam keseimbangan yang sehat: tidak fanatik, tidak eksklusif, tetapi inklusif dan dialogis. Pilar ke-4 mengajak kita untuk menghargai budaya lokal sebagai bagian integral dari identitas bangsa dan umat beriman.
Implementasi
akomodasi budaya dalam moderasi beragama berarti:
·
Menghormati dan memahami
keberagaman budaya di lingkungan sekitar kita.
·
Menolak sikap radikal yang
menolak keberagaman budaya dan agama.
·
Membangun dialog dan kerjasama
antarumat beragama dengan menghormati nilai-nilai budaya masing-masing.
·
Mengajarkan kepada generasi
muda pentingnya sikap terbuka dan menghargai perbedaan.
Akomodasi terhadap budaya lokal bukan hanya sekadar hiasan atau pelengkap, tetapi merupakan bagian integral dari misi Gereja untuk menghadirkan Injil dalam setiap budaya. Dengan menghargai dan menyerap budaya lokal, kita tidak hanya memperkaya iman kita, tetapi juga turut serta dalam membangun Indonesia yang rukun dan damai. Ini adalah wujud nyata dari moderasi beragama yang kita hayati dan praktikkan.
Marilah
kita terus membuka hati dan pikiran kita, agar Gereja Katolik di Indonesia
dapat semakin menjadi Gereja yang relevan, yang berakar kuat dalam tradisi iman
universal, namun juga bersemi indah dalam tanah budaya kita sendiri. *memet_johan

Komentar
Posting Komentar