EKOTEOLOGI; Harmoni Antara Spiritualitas dan Lingkungan

 

Berpijak dari fakta negatif yang timbul karena bencana alam seperti banjir, longsor dan sebagainya, dimana munculnya bencana karena kesalahan manusia dalam memperlakukan dan mengatur alam lingkungan padahal manusia dan alam lingkungan sama-sama ciptaan Tuhan yang menjadi satu kesatuan dalam siklus kehidupan, maka tata cara membangun keseimbangan untuk melanggengkan kehidupan harus dipahami dan selaras dengan perintah Tuhan, sehingga memahami perintah Tuhan melalui ajaran agama bagaimana seharusnya manusia mengatur dan memanfaatkan alam mutlak diperlukan.

Sebagai insan beriman dan manusia religius alangkagh baiknya jika agama bukan hanya dipahami sebagai urusan langit dan hanya untuk menggapai kebahagiaan di hari kemudian saja, tetapi juga sebagai urusan bumi yang memberikan kebaikan dan kebahagiaan kini, sehingga kehadiran "Ekoteologi" adalah pilihan tepat untuk menyelamatkan kehidupan, sebagaimana ungkapan dalam sesanti Jawa, "Memayu hayuning bawana" (memperindah dunia) atau upaya memperindah dunia dengan keramahan lingkungannya.

Apa Itu Ekoteologi?

Secara sederhana, Ekoteologi adalah sebuah cabang teologi yang mempelajari hubungan antara iman agama dengan isu-isu lingkungan. Ini adalah upaya untuk memahami dan merenungkan bagaimana keyakinan agama kita dapat membimbing kita dalam menghadapi krisis lingkungan yang kita alami saat ini. Ekoteologi mengajak kita untuk melihat ciptaan bukan hanya sebagai objek yang bisa dieksploitasi, tetapi sebagai bagian integral dari rencana keselamatan Allah. Ekoteologi dapat dimaknai sebagai jembatan antara iman kita dan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Ini bukan sekadar gerakan baru, melainkan sebuah panggilan kuno yang diperbarui, sebuah ajakan untuk melihat ciptaan sebagai anugerah ilahi yang harus kita jaga dan lestarikan, bukan sekadar dieksploitasi.

Ciptaan Sebagai Anugerah Ilahi

Kitab Kejadian dengan indah melukiskan bagaimana Allah menciptakan langit dan bumi beserta isinya, dan setelah setiap penciptaan, Ia melihatnya dan berkata, "sungguh amat baik." Puncak dari karya penciptaan adalah manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, dan diberi mandat untuk "menguasai" dan "memelihara" bumi (Kej. 1:28). Namun, apakah kita benar-benar telah memahami arti dari "menguasai" dan "memelihara" ini? Apakah kita telah menjadi penguasa yang bijaksana atau malah penindas yang merusak? Apakah kita telah menjadi pemelihara yang setia atau justru pengabaian yang membahayakan? Sayangnya, manusia sering kali melupakan peran ini. Akibat dosa, kita cenderung serakah, mengeksploitasi alam, dan merusak tatanan ekologis. Polusi, penebangan hutan, perubahan iklim, dan kepunahan spesies adalah tanda-tanda bahwa kita tidak hidup selaras dengan kehendak Allah.

Yesus Kristus datang bukan hanya untuk menyelamatkan manusia, tetapi untuk membaharui seluruh ciptaan. Dalam Kolose 1:16-20, dikatakan bahwa dalam Kristus segala sesuatu diciptakan, dan oleh darah-Nya di kayu salib, Ia memperdamaikan segala sesuatu, baik yang di bumi maupun di surga. Dengan demikian, iman kita harus berdampak pada cara kita memperlakukan bumi. Merawat lingkungan adalah bagian dari kesaksian iman kita kepada dunia.

 Ajaran Gereja Katolik tentang Lingkungan

Gereja Katolik, sepanjang sejarahnya, memiliki akar yang kuat dalam spiritualitas ekologis. Ingatlah Santo Fransiskus Asisi, pelindung ekologi, yang begitu mencintai seluruh ciptaan. Ia melihat Allah dalam setiap makhluk, dari burung hingga bunga, dan menyerukan kepada kita untuk hidup dalam harmoni dengan alam semesta.

Pada zaman modern ini, seruan untuk menjaga lingkungan hidup semakin nyaring disuarakan oleh Para Bapa Paus. Paus Paulus VI, Santo Yohanes Paulus II, dan Paus Benediktus XVI telah berulang kali mengingatkan kita akan tanggung jawab kita terhadap "rumah kita bersama". Puncaknya, Paus Fransiskus melalui ensikliknya yang monumental, "Laudato Si': Merawat Rumah Kita Bersama", menegaskan kembali panggilan Ekoteologi ini.

Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ menegaskan bahwa krisis lingkungan adalah krisis moral dan spiritual. Ia mengajak kita untuk bertobat, mengubah gaya hidup, dan melihat alam sebagai “saudara dan saudari kita” – bukan sebagai objek untuk dieksploitasi.

Krisis ekologi yang kita hadapi saat ini—mulai dari perubahan iklim, polusi, hingga hilangnya keanekaragaman hayati—menjadi bukti nyata bahwa kita, sebagai umat manusia, telah gagal dalam melaksanakan mandat ilahi ini. Hati kita mestinya tergerak ketika melihat sungai-sungai tercemar, hutan-hutan gundul, dan udara yang semakin menyesakkan. Ini bukan hanya masalah ilmiah atau politik, tetapi juga masalah moral dan spiritual.

Dalam ensiklik tersebut, Paus Fransiskus mengajak kita untuk melakukan pertobatan ekologis. Ini berarti mengubah cara pandang dan perilaku kita yang sering kali terlalu antroposentris, yaitu menempatkan manusia sebagai pusat segalanya tanpa memedulikan dampaknya pada ciptaan lain. Sebaliknya, Paus Fransiskus menyerukan ekologi integral, sebuah pandangan holistik yang menghubungkan kepedulian terhadap lingkungan dengan kepedulian terhadap keadilan sosial. Kita tidak bisa memisahkan jeritan bumi dari jeritan kaum miskin.

Dalam agama Katolik, tentang ekoteologi yaitu landasan iman Katolik yang menjadi dasar prinsip merawat bumi sebagai rumah bersama, bahkan kepedulian tinggi Gereja Katolik dalam menjaga, memperbaiki, melindungi serta melestarikan alam lingkungan ciptaan Tuhan selalu digencarkan dan menjadi seruan yang harus benar-benar diperhatikan dan ditaati.

Mengembangkan Ekoteologi dalam Kehidupan Sehari-hari

Gereja Katolik melalui ajaran sosial Katolik, mengajarkan bahwa keadilan sosial dan keadilan ekologis tidak bisa dipisahkan. Orang miskin sering menjadi korban pertama dari kerusakan lingkungan. Maka, memperjuangkan lingkungan juga berarti memperjuangkan martabat manusia.

Ekoteologi bukanlah sekadar teori di mimbar, tetapi sebuah panggilan untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, tanamkanlah kesadaran. Sadarilah bahwa setiap tindakan kita, sekecil apa pun, memiliki dampak pada lingkungan. Matikan lampu jika tidak digunakan, hemat air, dan kurangi penggunaan plastik sekali pakai.

Kedua, ubahlah pola konsumsi. Mari kita menjadi konsumen yang bertanggung jawab. Pilihlah produk yang ramah lingkungan, dukung produsen lokal, dan hindari pemborosan.

Ketiga, terlibatlah dalam aksi nyata. Bersihkan lingkungan sekitar, tanam pohon, atau bergabunglah dengan komunitas yang peduli lingkungan.

Keempat, mulailah dari diri sendiri dan keluarga. Ajarkan anak-anak kita untuk mencintai dan merawat alam. Libatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang menumbuhkan kesadaran ekologis.

Kelima, perbanyak doa dan refleksi. Doakanlah ciptaan Allah dan mohonlah bimbingan agar kita dapat menjadi pelayan yang baik bagi bumi ini.

Penutup, Panggilan Kita sebagai Penjaga Ciptaan

Akhirnya, harus diakui ekoteologi benar-benar akan menjadi harapan untuk penyelamatan alam lingkungan dan kelangsungan hidup maslahah dan berkeadaban di tengah kemajemukan umat manusia yang berketuhanan. Selain itu, juga cara inilah yang kiranya dapat mengurangi keserakahan para penghuni bumi ini yang terus menerus mengeksploitasinya tanpa perhitungan dan pertimbangan sehingga merusak kehidupan sebagai efek dari disharmoni manusia dengan alam lingkungan. 

Ekoteologi bukanlah sekadar tren atau topik sampingan dalam iman Katolik. Ini adalah inti dari panggilan kita sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Kita dipanggil bukan untuk menguasai dan merusak, tetapi untuk melayani dan memelihara ciptaan-Nya dengan penuh kasih dan tanggung jawab. Mari kita bersama-sama menjadi pelayan yang baik bagi "rumah kita bersama" ini. Mari kita menjadi generasi yang tidak hanya mewariskan kerusakan, tetapi juga harapan dan kehidupan bagi generasi yang akan datang. Dengan demikian, kita akan benar-benar membangun kembali "Taman Eden" di hati kita dan di bumi ini, memuliakan Allah sang Pencipta melalui ciptaan-Nya. @memet_johan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KASIH DALAM KEBERAGAMAN

MENJADI KATOLIK, MENJADI INDONESIA