TOLERANSI BERAGAMA: MEMBANGUN HARMONI DALAM PERBEDAAN
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama menyerukan pentingnya toleransi dalam hidup beragama. Hal ini dicanangkan dalam program Moderasi beragama. Apa itu moderasi beragama? yaitu cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang menghindari ekstremisme dan mengedepankan keseimbangan antara keyakinan agama dan kehidupan sosial. Konsep ini bertujuan untuk menciptakan keharmonisan dalam keberagaman, baik di dalam satu agama maupun antar agama.
Moderasi beragama memiliki empat pilar utama. Pertama, komitmen kebangsaan, yaitu mencintai negara dan mengikuti aturan yang berlaku. Kedua, toleransi, yaitu menghormati perbedaan dan tidak memaksakan keyakinan kepada orang lain. Ketiga, anti-kekerasan, yaitu menghindari ujaran kebencian, tindakan anarkis, dan kekerasan dalam beragama. Keempat, penerimaan terhadap tradisi, yaitu menghargai budaya dan kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Pilar kedua dalam program moderasi beragama, yaitu toleransi beragama. Toleransi beragama Adalah sikap saling menghormati, menghargai, dan hidup berdampingan secara damai antar individu atau kelompok yang memiliki keyakinan agama yang berbeda. Ini melibatkan pengakuan terhadap hak setiap orang untuk menjalankan keyakinan agamanya tanpa diskriminasi atau paksaan. Hal ini bukan sekadar kata-kata indah yang sering kita dengar, tetapi merupakan panggilan nyata bagi kita semua untuk menghidupinya dalam keseharian, apalagi dalam konteks bangsa Indonesia yang majemuk — berbeda-beda namun satu. Kita hidup di tengah masyarakat yang plural, di mana perbedaan suku, bahasa, budaya, dan agama merupakan bagian tak terpisahkan dari realitas hidup bersama. Justru karena itu, kita dipanggil untuk hidup dalam semangat toleransi.
Dasar
Iman Katolik tentang Toleransi
Toleransi bukan hanya sikap sosial, tetapi juga nilai iman. Dalam ajaran Gereja Katolik, menghargai keberagaman adalah bentuk kasih yang nyata kepada sesama. Kitab Suci sendiri telah memberikan banyak contoh bagaimana umat Allah diajak untuk hidup damai, saling menghormati, dan tidak menghakimi satu sama lain.
Dalam Injil Matius 22:37-39, Yesus berkata: "Kasihilah Tuhan, Allahmu... dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Kasih kepada sesama tidak dibatasi oleh latar belakang agama, suku, atau budaya. Kasih adalah panggilan universal.
Paus Fransiskus juga sangat menekankan pentingnya dialog antaragama. Dalam Dokumen Persaudaraan Manusia yang ditandatangani bersama Imam Besar Al-Azhar, Paus menegaskan bahwa semua manusia adalah saudara, dan karenanya kita harus saling menghormati, bekerja sama, dan hidup damai.
Toleransi
Bukan Sekadar Slogan
Toleransi bukan berarti kita menyamakan semua ajaran agama. Toleransi bukan berarti kita harus menganggap semua agama sama. Bukan pula berarti kita meninggalkan keyakinan sendiri. Toleransi berarti menghargai hak orang lain untuk meyakini ajaran agamanya, tanpa paksaan, tanpa penghinaan.
Iman kita kepada Kristus adalah satu-satunya jalan keselamatan. Namun, keyakinan ini tidak boleh membuat kita menjadi sombong atau merasa lebih baik dari yang lain. Justru, iman kita harus mendorong kita untuk menjadi pribadi yang lebih rendah hati, penuh kasih, dan menjadi berkat bagi siapa pun, tanpa memandang latar belakang agama mereka.
Pesan ini selaras dengan ajaran Gereja Katolik yang memandang toleransi bukan sebagai kelemahan iman, melainkan sebagai kekuatan yang menunjukkan kedewasaan iman. Iman yang matang adalah iman yang mampu melihat Kristus dalam diri setiap orang, termasuk mereka yang memiliki keyakinan berbeda.
Di
dalam Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Hubungan Gereja dengan
Agama-agama Non-Kristiani (Nostra Aetate), Gereja Katolik mengajak umatnya
untuk mengakui segala yang baik dan suci dalam agama-agama lain, serta
mendorong dialog yang tulus.
Dalam
masyarakat, toleransi juga berarti:
·
Tidak memaksakan agama pada
orang lain.
·
Tidak merendahkan atau
menjelekkan agama lain.
·
Menjunjung tinggi hak
kebebasan beragama dan beribadah.
·
Mendukung kerukunan dalam
kehidupan sehari-hari.
Mengapa
Toleransi Diperlukan?
Mengapa
kita perlu membangun toleransi?
1. Karena
kita hidup bersama.
Tidak ada seorang pun yang hidup sendirian. Dalam keluarga,
lingkungan, dan masyarakat, kita berinteraksi dengan banyak orang yang berbeda
latar belakang. Tanpa toleransi, perbedaan bisa menjadi sumber konflik.
2. Karena
perbedaan adalah anugerah.
Bayangkan dunia yang hanya satu warna, satu bentuk, satu
suara — alangkah membosankan. Keindahan justru terletak pada keberagaman.
Seperti pelangi yang memiliki banyak warna, namun tetap satu lengkungan.
3. Karena
persaudaraan manusia bersifat universal.
Sebelum kita dikenal sebagai penganut agama tertentu, kita
terlebih dahulu adalah manusia. Manusia ciptaan Allah yang satu. Maka, kita
dipanggil untuk membangun solidaritas, bukan sekat-sekat permusuhan.
Tantangan
dan Peluang dalam Toleransi
Namun
tentu, membangun toleransi tidak mudah. Kita menghadapi berbagai tantangan:
·
Fanatisme sempit.
·
Hoaks yang memecah-belah.
·
Sikap eksklusif yang merasa
diri paling benar.
·
Minimnya perjumpaan antarumat
beragama.
Tetapi
di tengah tantangan itu, selalu ada peluang:
·
Dialog antaragama yang terus
dikembangkan.
·
Kegiatan sosial lintas iman.
·
Pendidikan toleransi sejak
usia dini.
· Media yang menyuarakan perdamaian, termasuk siaran seperti hari ini.
Gereja Katolik di Indonesia sendiri, melalui berbagai keuskupan, paroki, dan lembaga seperti Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK), telah dan terus mendorong terwujudnya dialog yang sejati — bukan hanya dalam forum resmi, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Toleransi
sebagai Wujud Kasih Kristiani
Inti
iman Katolik adalah Kasih, dalam 1 Korintus 13, Santo Paulus
menggambarkan kasih sebagai hal yang paling utama. Tanpa kasih, segala sesuatu
menjadi sia-sia. Toleransi, dalam terang kasih Kristiani, bukan sikap lemah,
tapi justru kekuatan. Butuh keberanian untuk menerima perbedaan, untuk bersikap
terbuka, untuk tidak membalas kebencian dengan kebencian.
Toleransi adalah bentuk nyata dari Injil Kasih: "Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah." (Matius 5:9)
Sebagai umat beriman, kita meyakini bahwa Tuhan adalah sumber cinta kasih. Dalam Kitab Suci, Yesus mengajarkan kepada kita tentang hukum kasih yang paling utama: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat. 22:37-39). Perintah ini tidak hanya berlaku bagi sesama umat Kristiani, tetapi juga bagi semua manusia, tanpa memandang suku, ras, atau agama.
Toleransi beragama bagi umat Katolik berakar kuat dalam ajaran Gereja. Konsili Vatikan II dalam Deklarasi Nostra Aetate menyatakan, "Gereja memandang dengan hormat agama-agama lain. Meskipun dalam banyak hal berbeda dengan apa yang diyakininya dan diajarkannya, namun agama-agama itu tidak jarang memancarkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang." Pernyataan ini menegaskan bahwa kita tidak boleh memandang rendah agama lain. Sebaliknya, kita diajak untuk melihat kebaikan dan kebenaran yang ada di dalamnya.
Lalu,
bagaimana kita dapat mengimplementasikan toleransi beragama ini dalam kehidupan
nyata?
1. Saling
Mengenal dan Memahami.
Toleransi dimulai dari
pengenalan. Sering kali, prasangka buruk muncul karena ketidaktahuan. Luangkan
waktu untuk mengenal tetangga, rekan kerja, atau teman yang berbeda keyakinan.
Berbincanglah, dengarkan cerita mereka, dan pahami cara pandang mereka. Dengan
begitu, kita akan menemukan bahwa di balik perbedaan, ada banyak kesamaan yang
menyatukan kita sebagai sesama manusia.
2. Menghargai
Perayaan dan Praktik Ibadah Agama Lain.
Ketika tetangga kita
merayakan hari raya keagamaannya, tunjukkanlah sikap menghargai. Ucapkan
selamat, jika memungkinkan, atau sekadar menjaga ketenangan agar mereka dapat
beribadah dengan khusyuk. Ini bukan berarti kita mengkhianati iman kita,
melainkan menunjukkan sikap hormat. Dalam ajaran Yesus, kasih itu melampaui
batas-batas. Kasihlah yang mendorong kita untuk berbuat baik kepada siapa pun.
3. Menjaga
Ucapan dan Sikap.
Lidah adalah senjata
yang tajam. Hindari perkataan yang merendahkan atau mengejek agama lain. Begitu
juga dengan sikap. Jauhkanlah diri dari tindakan diskriminatif yang dapat
melukai perasaan orang lain. Setiap agama mengajarkan kebaikan dan kasih. Oleh karena
itu, sudah seharusnya kita menjadi duta-duta damai, bukan pemicu perpecahan.
4. Bekerja
Sama dalam Kebaikan.
Indonesia adalah bangsa yang
kaya akan keberagaman. Di banyak tempat, kita melihat umat beragama yang
berbeda bahu-membahu membangun sekolah, membersihkan lingkungan, atau membantu
sesama yang sedang kesusahan. Inilah wujud nyata toleransi yang paling indah.
Kita tidak perlu menunggu ada bencana untuk bersatu. Mari kita mulai dari
hal-hal kecil di sekitar kita. Bergotong royong membersihkan selokan, membantu
anak yatim piatu, atau menjaga keamanan lingkungan adalah contoh-contoh
sederhana dari perwujudan kasih.
Ajakan untuk Menjadi Pembawa Damai
Mari kita menjadi duta damai di tengah masyarakat. Mari kita jadikan toleransi sebagai bagian dari hidup sehari-hari — di rumah, di tempat kerja, di sekolah, dan di dunia maya. Sebagaimana kata pepatah: “Jika tidak bisa menyatukan, setidaknya jangan memecah.” “Jika tidak bisa menjadi api yang besar, jadilah lilin kecil yang tetap memberi terang.”
Sebagaimana pesan dari Paus Fransiskus, "Toleransi sejati bukan hanya tentang menoleransi keberadaan orang lain, tetapi juga tentang mencintai mereka sebagai saudara dan saudari." Mari kita jadikan setiap hari sebagai kesempatan untuk mempraktikkan toleransi. Jadilah jembatan yang menyatukan, bukan tembok yang memisahkan. Jadilah cahaya kasih Tuhan bagi sesama, di mana pun kita berada. @memet_johan
Komentar
Posting Komentar