Membangun Budaya Baik dalam Gereja Katolik
Dalam hidup sehari-hari, kita sering mendengar ungkapan "kebiasaan adalah kekuatan." Ini berlaku juga dalam konteks iman kita. Gereja Katolik, sebagai persekutuan umat beriman, tidak hanya dibangun di atas dogma dan ajaran, tetapi juga diperkuat oleh kebiasaan-kebiasaan baik yang kita praktikkan secara pribadi maupun bersama. Kebiasaan baik ini adalah fondasi yang kokoh untuk pertumbuhan iman dan menjadi saksi Kristus di tengah dunia. Namun, kebiasaan baik ini tidak muncul begitu saja. Ia perlu dibangun, dipelihara, dan terus-menerus diperbarui. Mari kita bersama menggali apa saja kebiasaan baik yang bisa kita kembangkan dalam diri Gereja Katolik, dimulai dari diri kita sendiri sebagai anggota Gereja.
Gereja
Bukan Hanya Bangunan, Tapi Hidup
Ketika
kita menyebut “Gereja Katolik”, banyak dari kita langsung terbayang bangunan
megah, altar, salib, dan liturgi yang khusyuk. Namun Gereja lebih dari sekadar
tempat fisik—Gereja adalah komunitas umat Allah, tubuh mistik Kristus
yang hidup. Kita semua adalah Gereja yang berjalan, dan di dalam perjalanan
itulah kita dituntut untuk memiliki kebiasaan-kebiasaan baik yang mencerminkan
Kristus sendiri.
Kebiasaan baik ini bukan sekadar rutinitas tanpa makna. Ini adalah cerminan dari hidup Kristiani yang sejati, sebagai saksi iman di tengah dunia. Maka hari ini kita akan melihat bersama, beberapa kebiasaan baik dalam Gereja Katolik yang perlu kita hayati dan hidupkan setiap hari
Kebiasaan
Baik yang Mendasar: Doa dan Sakramen
Ketika
kita berbicara tentang kebiasaan baik dalam Gereja Katolik, hal pertama yang
terlintas di benak kita tentulah doa. Doa adalah napas kehidupan iman
kita. Kebiasaan untuk meluangkan waktu setiap hari untuk berdoa, entah itu doa
pribadi, doa rosario, atau doa bersama keluarga, adalah sebuah praktik
fundamental yang tidak boleh kita abaikan. Melalui doa, kita membangun relasi
yang intim dengan Tuhan, menyerahkan segala kekhawatiran, dan memohon
bimbingan-Nya.
Dalam
Gereja Katolik, doa adalah napas hidup rohani. Kita diajak untuk berdoa bukan
hanya saat berada di gereja, tetapi setiap saat: pagi hari, sebelum makan,
sebelum tidur, bahkan dalam perjalanan atau kesibukan kerja.
Mengapa
doa itu penting? Karena melalui doa, kita membuka hati
kepada Allah, menyatukan kehendak kita dengan kehendak-Nya, dan memohon rahmat
untuk hidup kudus.
Selain
doa, penerimaan sakramen juga merupakan kebiasaan baik yang sangat
penting. Secara khusus, kebiasaan menerima Sakramen Ekaristi secara rutin,
khususnya pada hari Minggu, adalah jantung kehidupan Gereja kita. Ekaristi
adalah puncak dan sumber seluruh hidup kristiani. Di dalamnya, kita tidak hanya
menerima Kristus dalam rupa roti dan anggur, tetapi juga diperkuat untuk
menjalankan misi kita sebagai pengikut-Nya. Jangan lupakan juga Sakramen Tobat
atau Rekonsiliasi. Kebiasaan untuk secara berkala mengakui dosa-dosa kita dan
menerima pengampunan Tuhan adalah tanda kerendahan hati dan keinginan untuk
terus bertumbuh dalam kekudusan.
Sakramen
adalah tanda kehadiran kasih Allah yang nyata. Gereja Katolik memiliki tujuh
sakramen, dan dua di antaranya paling sering kita terima: Ekaristi dan
Tobat.
Kebiasaan
menerima Sakramen Ekaristi setiap Minggu (bahkan harian jika mungkin)
membentuk kita menjadi pribadi yang bersyukur dan berbelarasa. Kita menerima
tubuh Kristus untuk menjadi tubuh Kristus bagi sesama.
Demikian
juga dengan Sakramen Tobat, di mana kita mengakui dosa-dosa kita dan
menerima pengampunan Allah. Ini bukan hanya soal pengakuan, tapi juga pembaruan
diri dan pertobatan sejati.
Gereja
mengajarkan: “Barangsiapa yang ingin hidup kudus,
hendaklah ia rajin memeriksa batin, bertobat, dan menerima Ekaristi dengan hati
bersih.”
Mengapa kebiasaan doa dan sakramen ini begitu penting? Karena kedua kebiasaan ini membentuk karakter rohani kita. Ia mengajar kita disiplin, kesabaran, dan ketergantungan pada Tuhan. Tanpa kebiasaan-kebiasaan ini, iman kita akan mudah goyah dan layu.
Kebiasaan
Membaca dan Merenungkan Kitab Suci
Gereja
Katolik mendorong umat untuk mengenal dan mencintai Sabda Allah. Kitab
Suci bukan hanya milik rohaniwan, tetapi milik seluruh umat beriman.
Melalui
Lectio Divina—membaca, merenung, berdoa, dan menghidupi firman
Tuhan—kita diajak masuk dalam relasi yang intim dengan Tuhan.
Paus
Fransiskus sering mengatakan: “Kita tidak bisa menjadi murid Kristus sejati
jika kita tidak mengenal Sabda-Nya.”
Maka jadikanlah kebiasaan membaca Injil harian sebagai bagian dari hidup. Tidak perlu panjang. Lima sampai sepuluh menit saja setiap hari cukup untuk mengubah hati dan pikiran kita.
Kebiasaan
Hidup dalam Komunitas: Gereja Adalah Keluarga
Gereja
Katolik sangat menekankan kebersamaan dan hidup dalam komunitas. Kita
tidak dipanggil untuk menjadi orang kudus sendirian. Kita hidup dalam
persekutuan: keluarga, lingkungan, wilayah, paroki, keuskupan. Di situlah kita
belajar saling melayani, saling menopang, dan membangun persaudaraan sejati.
Dalam Kisah Para Rasul 2:42 dikatakan: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa bersama.”
Inilah
cikal bakal kehidupan komunitas umat Katolik. Dalam semangat sinodalitas zaman
ini—kita diajak untuk berjalan bersama, mendengarkan satu sama lain, dan
membangun Gereja yang partisipatif.
Contoh
konkret kebiasaan hidup bersama:
·
Kunjungan umat ke orang sakit
atau lansia
·
Kegiatan sosial seperti bakti
sosial dan gotong royong
· Pertemuan lingkungan dan pendalaman iman
Kebiasaan
Baik dalam Pelayanan dan Solidaritas : Iman yang Aktif dan Hidup
Saudara-saudari
terkasih dalam Kristus, Selain dimensi vertikal hubungan kita dengan Tuhan,
kebiasaan baik dalam Gereja juga mencakup dimensi horizontal, yaitu hubungan
kita dengan sesama. Yesus sendiri mengajarkan, "Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri." Maka, kebiasaan melayani sesama dan menunjukkan
solidaritas adalah wujud nyata iman kita. Iman Katolik bukanlah iman yang
pasif. Kita dipanggil untuk melayani, seperti Yesus datang bukan untuk
dilayani, tetapi untuk melayani dan memberikan hidup-Nya.
Mari
kita lihat di lingkungan paroki kita masing-masing. Ada banyak kesempatan untuk
berbuat baik: terlibat dalam kelompok kategorial, menjadi lektor, pemazmur,
kolektan, atau bahkan sekadar menjadi sukarelawan dalam kegiatan sosial gereja.
Kebiasaan untuk berbagi waktu, talenta, dan harta kita demi kebaikan bersama
adalah tanda kematangan iman. Ketika kita melihat ada saudara-saudari kita yang
membutuhkan, kebiasaan untuk mengulurkan tangan dan membantu adalah
refleksi dari kasih Kristus dalam diri kita. Ini bisa berupa kunjungan orang
sakit, memberi perhatian kepada yang kesepian, atau bahkan sekadar senyuman dan
sapaan hangat kepada sesama umat.
Solidaritas
juga berarti membangun komunitas yang peduli. Kebiasaan untuk saling mendukung,
saling mendoakan, dan saling mengingatkan dalam kebaikan, bahkan ketika ada
perbedaan pendapat, adalah ciri khas Gereja yang hidup. Dalam
kebiasaan-kebiasaan ini, kita menjadi terang dan garam bagi dunia, mewujudkan
Gereja sebagai persekutuan yang hidup dan melayani.
Pelayanan
bisa dilakukan dalam banyak bentuk:
·
Pelayan Liturgi (lektor,
misdinar, pemazmur)
·
Katekis dan penyuluh agama
·
Pelayan sosial: mengunjungi
orang miskin, membantu korban bencana
· Pelayanan dalam keluarga: menjadi teladan kasih dan pengampunan
Menghadapi
Tantangan dan Membangun Budaya Gereja yang Baik
Membangun
kebiasaan baik tentu tidak selalu mudah. Ada saja tantangan yang muncul, entah
itu kesibukan, rasa malas, atau godaan dari dunia luar. Namun, kita dipanggil
untuk tidak menyerah. Kuncinya adalah konsistensi dan kesadaran.
Mulailah dari hal kecil, lakukan secara teratur, dan rasakan manfaatnya.
Selain
itu, penting bagi kita untuk membangun budaya Gereja yang positif. Ini
berarti lingkungan di mana kebiasaan baik didukung, dihargai, dan ditularkan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Para orang tua diharapkan menanamkan
kebiasaan doa dan ke gereja sejak dini kepada anak-anak. Para pemimpin Gereja
dan tokoh umat diharapkan menjadi teladan dalam praktik-praktik baik.
Ketika
seluruh anggota Gereja secara sadar dan konsisten mempraktikkan
kebiasaan-kebiasaan baik ini, kita akan melihat Gereja Katolik menjadi semakin
kuat, semakin relevan, dan semakin mampu menjadi berkat bagi dunia. Kita
menjadi Gereja yang bukan hanya berbicara tentang kasih, tetapi juga
mewujudkannya dalam tindakan nyata setiap hari.
Saudara-saudari
terkasih, Gereja kita kaya akan tradisi dan kebiasaan baik. Tapi semua itu akan
sia-sia jika kita tidak menghidupinya dalam keseharian.
Hari
ini kita telah melihat enam kebiasaan baik dalam Gereja Katolik:
1. Berdoa
setiap hari
2. Hidup
dalam komunitas
3. Menerima
sakramen secara teratur
4. Membaca
Kitab Suci
5. Melayani
dengan kasih
6. Menjaga kesatuan dengan Gereja
Kebiasaan
doa, sakramen, pelayanan, dan solidaritas adalah pilar-pilar yang akan menopang
Gereja agar tetap teguh dalam iman dan kasih. Selain itu juga berkomitmen untuk
menjadikan kebiasaan-kebiasaan baik ini sebagai bagian tak terpisahkan dari
hidup kita sebagai Katolik. Dengan demikian, kita tidak hanya memperkaya
kehidupan rohani pribadi, tetapi juga turut serta membangun Gereja yang hidup,
bermartabat, dan penuh kasih, yang mampu menjadi mercusuar harapan di tengah
dunia.
Mari
kita mulai dari diri kita sendiri. Mulai dari keluarga, lingkungan, dan paroki.
Jadikan hidup kita sebagai saksi bahwa Gereja Katolik bukan hanya ada di
bangunan, tetapi hadir nyata dalam setiap tindakan kita. @memet_johan
Komentar
Posting Komentar