KERUKUNAN: Membangun Jembatan di Atas Perbedaan
Indonesia adalah anugerah Tuhan yang luar biasa, sebuah mozaik keberagaman yang kaya. Berbagai suku, agama, ras, dan budaya hidup berdampingan di tanah air kita. Keberagaman ini adalah anugerah tak ternilai dari Tuhan. Namun, keberagaman juga dapat menjadi sumber perpecahan jika kita tidak mampu merawatnya dengan baik. Di sinilah peran penting kerukunan menjadi nyata.
Kerukunan berasal dari kata “rukun” yang berarti hidup bersama dengan damai, saling menerima, dan saling menghormati. Kerukunan bukan berarti semua harus seragam, melainkan justru mampu hidup dalam perbedaan dengan semangat saling menghargai.
Bagi umat Katolik, kerukunan bukan sekadar sikap pasif menerima perbedaan, melainkan panggilan aktif untuk hidup berdampingan secara harmonis. Lebih dari itu, kerukunan adalah panggilan aktif untuk membangun harmoni di tengah keberagaman.
Bagaimana
ajaran Gereja Katolik memandang mengenai kerukunan ini.
1. Dalam
Injil Matius 22:37–39, Yesus menegaskan dua hukum utama dalam hidup kita: “Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum
yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri.” Kasih ini tidak mengenal sekat, tidak memandang latar
belakang. Ini adalah kasih yang universal, yang merangkul setiap manusia
sebagai sesama ciptaan Allah. Kita dipanggil untuk membangun jembatan, bukan
tembok. Inilah dasar spiritual dari kerukunan dan cinta kemanusiaan. Cinta
kepada Allah harus diikuti oleh cinta kepada sesama. Dan cinta kepada sesama
tidak boleh dibatasi oleh perbedaan agama, suku, budaya, atau latar belakang
sosial.
2. Ketika
Yesus menyampaikan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Lukas
10:25–37), Ia sedang membongkar tembok diskriminasi. Orang Samaria — yang
saat itu dianggap musuh oleh orang Yahudi — justru menjadi teladan belas
kasih. Artinya: kerukunan dan cinta kemanusiaan harus melampaui batas-batas
kelompok dan identitas. Itulah semangat Injil.
3. Dalam Gaudium et Spes (dokumen Konsili Vatikan II) mengajarkan bahwa umat Katolik dipanggil untuk menjadi “garam dan terang dunia”, menjadi pembangun dialog dan perdamaian.
Sebagai umat Katolik di Indonesia yang majemuk, harus menjadi pembawa damai, bukan hanya di dalam lingkungan gereja, tetapi juga dalam masyarakat, lingkungan kerja, dan keluarga. Kerukunan itu nyata, bukan teori. Ia dimulai dari: Cara berbicara yang tidak menyulut kebencian, cara kita bersikap yang tidak merendahkan kelompok lain dan cara hadir di tengah masyarakat yang plural dengan penuh kasih dan rendah hati.
Bagaimana
kita mewujudkan kerukunan dalam praktik hidup sehari-hari?
Pertama,
menghargai dan menghormati keyakinan serta tradisi orang lain.
Meskipun berbeda, semua adalah ciptaan Tuhan yang memiliki martabat luhur.Setiap
individu memiliki martabat luhur di mata Tuhan. Kita mungkin berbeda dalam cara
beribadah atau merayakan keyakinan, tetapi kita bersatu dalam kemanusiaan.
Menghormati orang lain berarti memberikan ruang bagi mereka untuk
mengekspresikan imannya dengan bebas, tanpa prasangka atau penghakiman.
Kedua,
membangun dialog yang tulus dan terbuka.
Seringkali, konflik timbul karena kesalahpahaman atau kurangnya komunikasi. Padahal
komunikasi adalah kunci untuk memahami perspektif orang lain dan menemukan
titik temu. Dialog adalah jembatan yang memungkinkan kita memahami perspektif
orang lain, melihat dunia dari sudut pandang mereka, dan menemukan titik-titik
temu. Dialog bukan berarti meleburkan keyakinan, melainkan memperkaya pemahaman
kita tentang sesama.
Ketiga, berkolaborasi demi kebaikan bersama. Ada begitu banyak masalah sosial di sekitar kita yang membutuhkan uluran tangan bersama: kemiskinan, ketidakadilan, bencana alam. Ini adalah lahan subur bagi kita untuk bersatu, lintas agama dan budaya, untuk menciptakan solusi. Ketika kita bekerja sama untuk kebaikan yang lebih besar, kita tangani bersama tanpa memandang latar belakang agama atau suku, maka sekat-sekat perbedaan akan luntur dan digantikan oleh semangat persaudaraan.
Kerukunan
sejati tercermin dalam kemampuan kita untuk merayakan perbedaan sebagai
kekayaan, bukan sebagai ancaman. Ini adalah wujud nyata dari iman kita yang
universal, yang mengakui bahwa semua manusia terlepas dari latar belakangnya,
adalah keluarga besar ciptaan Tuhan. Kita bersaudara di hadapan Tuhan. (memet_johan)
Komentar
Posting Komentar