GARAM DAN TERANG DUNIA

 


Kamu adalah garam dunia, jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagi pula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.

Dalam Injil tadi secara jelas Yesus menegaskan kepada murid-murid-Nya bahwa mereka adalah garam dunia. Seperti garam yang berfungsi menggarami segala sesuatu agar menjadi segar dan awet serta memberikan rasa yang lezat, demikianlah juga para murid harus menjadi garam yang memberikan rasa pada dunia sehingga dunia terasa lebih baik, lebih layak untuk didiami. Yesus juga mengingatkan mereka akan bahaya jika garam tawar dan kehilangan fungsinya, ia menjadi tidak berguna dan pasti akan dibuang serta diinjak-injak orang. Menjadi garam harus menjadi identitas panggilan mereka sebagai murid-murid Yesus. 

Yesus juga mengatakan bahwa para murid adalah terang dunia. Sebagai terang, mereka harus seperti kota yang berada di atas bukit, yang terlihat oleh semua orang karena ada terang di sana. Mereka juga harus seperti pelita dalam suatu rumah, yang dinyalakan bukan untuk disembunyikan melainkan menerangi seisi rumah itu. Dengan kata Iain, terang para murid harus terpancar menerangi dunia, yaitu dengan segala perbuatan dan cara hidup mereka yang baik. Yesus juga mengingatkan kepada para murid-Nya bahwa dalam perutusan mereka agar menjadi garam dan terang lewat berbagai karya belas kasih. Hati dan pikiran para murid harus senantiasa terarah kepada kemuliaan Allah Bapa di Surga bukan sebaliknya supaya dilihat orang atau hanya untuk memegahkan atau memuliakan dirinya sendiri. 

Panggilan menjadi garam dan terang di antara orang-orang dunia adalah hakikat panggilan setiap orang kristiani. Kita pun adalah orang-orang kristiani. Artinya, kita termasuk orang-orang yang mengikuti dan mengimani Dia. Kita juga adalah murid-murid Kristus. Kita juga dipanggil untuk ikut ambil bagian menjadi tanda kehadiran Allah Bapa yang penuh kasih, yaitu menjadi garam dan terang dunia. Panggilan menjadi garam dunia berarti kita diminta untuk terlibat memberikan rasa, yaitu menjadikan dunia sekitar kita lebih baik, lebih enak untuk ditinggali, dan lebih hidup. 

Seperti sifat garam yang menjadikan segala sesuatunya menjadi lebih enak, demikian juga kehadiran kita di tengah-tengah dunia. Sebagai garam kita harus mampu menjadikan dunia yang tawar menjadi berasa, dunia yang suram tanpa pengharapan menjadi penuh harapan, dunia yang tidak berkeadilan menjadi berkeadilan. Panggilan menjadi terang dunia artinya, kehadiran kita harus menampakkan kehadiran yang membawa cahaya kebaikan dan belas kasih Tuhan sendiri bagi orang-orang di sekitar kita. Kehadiran kita di tengah orang miskin dan lapar, harus mampu membawa cahaya bela rasa lewat berbagi makanan, memberi pakaian, memberi tumpangan. Kehadiran kita di tengah orang yang dirundung duka, harus mampu menjadi cahaya penghiburan dan kegembiraan. Kehadiran kita di tengah orang yang sakit, harus mampu menjadi cahaya yang meneguhkan dan menguatkan. "Kamu adalah garam dan terang dunia." 

Yesus menginginkan kita pun harus menjadi terang dunia. Terang dapat menghalau kegelapan dan mengungkap hal-hal yang tidak terlihat. Dengan menjadi terang dunia, berarti kita harus dapat memantulkan cahaya dari Kristus untuk menghalau kegelapan hati dan jiwa orang-orang di sekitar kita, dan mengungkap kebenaran di tengah gelapnya dunia yang penuh dengan kepalsuan. Segelap apapun suatu ruangan, bila ada cahaya bahkan setitik saja, semua orang pasti bisa melihat cahaya itu. Kebaikan dan kebenaran bagaikan terang/cahaya yang harus dimunculkan.

Perintah Yesus sangat jelas. Dengan menjadi garam dan terang dunia, berarti kita harus bertindak sesuai dengan ajaran-Nya, sehingga orang lain dapat merasakan garam dan melihat terang itu. Selain itu, menjadi garam dan terang dunia menuntut adanya interaksi dengan sesama. Garam dan terang hanya dapat berfungsi jika mereka mau berkorban. Lilin tidak akan pernah berfungsi jika lilin tersebut tidak dinyalakan dan menjadi lumer. Garam juga tidak akan pernah berfungsi jika garam tersebut tidak dilarutkan. Sudahkah kita menjadi garam dan terang yang mau mengorbankan diri?

Pertanyaan reflektif yang kiranya dapat kita renungkan adalah bisakah orang tetap menjadi atau bertahan sebagai garam dan terang di dalam masyarakat majemuk dan yang rumit seperti masyarakat zaman ini? Di mana orang tak bisa tinggal hanya di dalam kelompok sendiri. Mau tak mau akan ikut berperan di dalam dunia yang beragam ini? Bisakah orang tetap punya identitas? Ya seperti garam yang ditaburkan memberi rasa pada sayur. Begitu pula terang menyinari seluruh ruangan, tidak terbatas di satu sudut saja. Sadarilah bahwa bila ada tempat yang tidak kena terang atau tidak tergarami, itu karena ada penghalangnya.

Dalam masyarakat yang beragam, para murid tidak hanya menggarami kelompoknya sendiri atau menerangi pada lingkungan terbatas. Katakan saja “garam dan terang dunia” itu membola dunia. Bila hanya setempat-setempat saja, maka hidup sebagai garam dan terang “bagi dunia” itu rasanya koq hanya tetap wacana belaka. Di era yang makin mengalami globalisasi ini, makin besar pula peran garam dan terang tadi. Ingatlah yang tidak menjalankannya akan menjauhi kenyataan dan menjadi hambar, ambles, padam, tak masuk hitungan.

Hidup sebagai garam bukan berarti terjun mengasinkan orang-orang lain dengan menonjolkan ibadat serta rumus-rumus kepercayaan sendiri. Itu justru arah yang semakin ke diri sendiri, makin “nyungsang” kata orang Jawa. Garam itu seharusnya meluas, tidak menyempit. Hidup sebagai terang seharusnya terpancar ke luar, bukan hanya ke dalam.

Kalau tadi kita mendengar bahwa“Hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga.”Kiranya hal ini oleh para murid dapat dijadikan pegangan manakala mereka diminta agar melakukan perbuatan yang bakal membuat orang-orang bisa memuliakan Bapa yang ada di surga. Maksudnya ialah agar perbuatan dan tingkah laku para murid itu menjadi bentuk kehadiran Bapa di dunia ini. Namun, kehadiran seperti ini tidak dapat dipaksa-paksakan kepada orang banyak. Hanya bisa dipersaksikan. Maka tindakan yang paling bijak ialah membuat agar didengar dan dikenal terlebih dulu secara apa adanya.

St. Agustinus mengingatkan kita, bahwa menjadi garam dan terang dunia yang bermakna itu sesungguhnya membutuhkan perjuangan. Namun jika dilakukan, hal itu akan membawa kebaikan, bagi kehidupan kita dan juga kehidupan sesama kita. Kejujuran, pengorbanan, ketulusan kasih dan pengendalian diri adalah nilai-nilai luhur yang tidak dapat ditentang atau digantikan. Tuhan tidak menghendaki bahwa kita hanya menyimpan nilai-nilai luhur  untuk diri kita sendiri, namun untuk dibagikan kepada sesama. Dan pada saat kita melakukan dan membagikannya, kita melaksanakan panggilan kita sebagai garam dan terang dunia. Sebab dunia di sekitar kita memang terkadang memiliki patokan nilai yang berbeda dengan nilai-nilai luhur ajaran iman kita.

Mari kita bertanya kepada diri kita sendiri, sejauh mana kita telah hidup sebagai garam dan terang dunia? Sudahkah kita “cukup asin” untuk menggarami, dan “cukup terang” untuk menerangi sekitar kita? Cukup konsisten kah kita dalam melaksanakan ajaran dan perintah Tuhan? Dan berjuang untuk bertumbuh dalam kekudusan? Mungkin baik kita mengingat apa yang dikatakan oleh St Paus Yohanes Paulus II ini:

“Seperti garam memberikan rasa kepada makanan dan terang menerangi kegelapan, demikianlah juga kekudusan memberikan arti kepada hidup dan membuatnya menjadi cermin bagi kemuliaan Tuhan. Berapa banyak orang kudus [Santo dan Santa], terutama mereka yang masih muda, yang dapat kita andalkan dalam sejarah Gereja! Dalam kasih mereka kepada Allah, kebajikan heroik mereka menyinari dunia, dan mereka menjadi teladan kehidupan, yang oleh Gereja dianggap sebagai contoh untuk ditiru oleh semua orang…. Melalui doa syafaat para saksi iman ini, semoga Tuhan menjadikan kalian semua… para orang kudus di milenium ketiga ini!” (Paus Yohanes Paulus II, World Youth Day, 2002).

Dari sejumlah tokoh dunia, kita tak akan mungkin melupakan satu nama: Bunda Teresa dari Kalkuta. Bunda Teresa dikenal dunia sebagai pahlawan kemanusiaan, seorang yang rela membaktikan diri seutuhnya kepada orang-orang yang termiskin dari mereka yang miskin. Ia bersama para biarawati dalam komunitasnya, merawat orang-orang miskin yang terbuang di jalan, yang tubuhnya bagaikan tulang belulang berbungkus kulit yang tak mampu lagi berjalan.

Dalam sebuah wawancara, seorang wartawan mengatakan kurang lebih demikian kepada Bunda Teresa, “Betapa luar biasanya karya Anda. Tapi sejujurnya, sekalipun saya diberi uang 1 juta dollar, saya tak akan mau melakukan apa yang Anda lakukan.” Namun Bunda Teresa menjawab, “Sayapun tidak akan melakukan ini untuk uang 1 juta dollar….” Lalu lanjut Bunda Teresa, “Sebab saya tidak melakukan semua ini untuk uang, namun untuk Tuhan; karena saya melihat Tuhan saya di dalam wajah-wajah mereka yang miskin dan terbuang ini…. Dan ini mendorong saya untuk berbuat sesuatu…”

Sungguh, teladan hidup Bunda Teresa menunjukkan bahwa ia telah melaksanakan kehendak Tuhan untuk menjadi garam yang asin dan terang yang bercahaya dunia. Tidak mudah memang, namun inilah panggilan kita juga sebagai murid-murid Kristus. Kita dipanggil untuk meneruskan Terang Kristus dan ‘rasa’ Kristus kepada orang-orang di sekitar kita. Tidaklah cukup bagi kita untuk berdoa dan berpuasa, jika hal itu tidak mengubah kita untuk menjadi orang yang lebih peka untuk menolong sesama yang membutuhkan bantuan. Bukankah demikian yang diajarkan oleh Nabi Yesaya?

Dengan harapan semoga semakin banyak bahkan semua orang bersukacita dan berbahgia memuliakan Allah. Maka marilah kita yang adalah garam sungguh-sungguh dapat memperlihatkan diri lewat tindakan perbuatan kita sebagai garam yang asin, yang dapat mengawetkan dan membuat hidup enaksemua orang seturut kehendak Tuhan. Demikian juga kita yang adalah terang semestinya menjadi terang hidup yang bisa menerangi diri dan hidup sesamamelalui tindakan perbuatan kita sehingga semua orang sungguh dapat menikmati terang ilahi yang menuntun hidup pada keselamatan abadi. (memet_johan)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

EKOTEOLOGI; Harmoni Antara Spiritualitas dan Lingkungan

KASIH DALAM KEBERAGAMAN

MENJADI KATOLIK, MENJADI INDONESIA