PERTOBATAN MEMBAWA KESELAMATAN

 


Sebagai umat Katolik tentu kita pernah membaca atau mendengar perihal Perumpamaan tentang anak yang hilang, perumpamaan ini adalah khas dari penginjil Lukas, yang disampaikan berturutan dengan perumpamaan tentang domba yang hilang dan perumpamaan tentang dirham yang hilang. Perumpamaan ini disampaikan Yesus setelah para ahli Taurat dan orang Farisi bersungut-sungut karena Yesus menerima para pemungut cukai dan orang berdosa untuk mendengarkan pengajaranNya.

Perumpamaan ini mengisahkan tentang seorang ayah yang memiliki dua anak, yang dalam teksnya disebut sebagai si sulung dan si bungsu. Si anak bungsu meminta bagian harta miliknya kepada ayahnya, dan kemudian pergi ke luar negeri. Anak bungsu itu memboroskan miliknya hingga ia jatuh miskin, dan akhirnya memutuskan untuk pulang kembali ke rumah ayahnya. Ayahnya menyambut anak itu dengan sukacita, namun anak sulung ayah itu merasa iri dengan perlakuan ayahnya kepada adiknya. Di akhir kisah, sang ayah menjelaskan kepada anak sulungnya bahwa anak sulung itu tidak kurang dikasihi dibandingkan dengan anak bungsunya. Ayahnya juga memberi pengertian bahwa kedatangan adiknya ini harusnya disambut dengan sukacita, karena adiknya yang telah diangap hilang, sekarang sudah kembali lagi dalam rumah mereka.

Dalam perumpamaan ini terlihat sekali paham keselamatan yang ingin disampaikan Lukas, seperti yang tertulis dalam Lukas 1:77, yaitu pengampunan atas dosa-dosa. Keselamatan berkaitan dengan pelepasan manusia dari belenggu dosa karena pengampunan dari Tuhan yang maha pengasih. Diperlukan pula pertobatan dari manusia, sebagai tanggapan atas kasih Tuhan itu. Keterbukaan hati manusia amat diperlukan untuk mendapatkan rahmat keselamatan itu. Jika manusia tidak mau bertobat, maka sia-sialah rahmat itu, karena tidak sampai kepada manusia yang membutuhkannya. Hal ini dapat kita temukan dalam kisah Zakheus, dimana sapaan Yesus ditanggapi oleh Zakheus dengan pernyataan penyesalannya. Keselamatan itupun bersifat komunal, dimana dalam keselamatan terdapat pendamaian antara manusia dengan Tuhan, dan antara manusia dengan sesamanya. Keselamatan tidak hanya monopoli orang yang paham dengan hukum Taurat saja, atau hanya untuk orang yang saleh saja, tapi Tuhan mencari orang yang hilang dan berdosa untuk diselamatkan. Tuhan begitu penuh kasih dan maha rahim sehingga semua orang diundang masuk dalam karya keselamatanNya.

Bagaimana kita merefleksikan perumpamaan ini dalam hidup beriman kita saat ini. Dalam perumpamaan ini ada tiga tokoh utama, yakni si bungsu, si sulung dan ayah mereka. Ayah mereka adalah gambaran dari Bapa kita yang ada di surga, yang begitu pemurah, penuh kasih, dan memeberikan kebebasan untuk anak-anaknya. Ini terlihat dari kerelaannya untuk memenuhi permintaan anak bungsunya, yakni membagikan hartanya, meskipun ia masih hidup. Si sulung dianggap sebagai gambaran orang Farisi dan ahli taurat yang taat pada hukum Taurat dan selalu menjaga kesucian diri mereka. Sedangkan si bungsu dianggap sebagai para pemungut cukai dan pendosa yang dianggap sebagai kelompok tak bermoral, tak beragama dan harus dijauhi karena dipandang sebagai perusak hukum. Itulah mengapa orang Farisi dan ahli taurat mengkritik Yesus yang mau bergaul dan menerima para pemungut cukai dan pendosa. Atau meungkin juga mereka merasa iri karena Yesus sangat memperhatikan para pendosa, dan bukan memeperhatikan mereka yang hidupnya suci.

Harus disadari bahwa pusat perhatian perumpamaan ini bukan hanya sebatas orang Farisi atau orang berdosa saja, namun bagi kita semua. Banyak dari kita yang sedang dalam posisi si anak bungsu, yang meminta hak kita dari Bapa, lalu pergi ke negeri yang jauh, yakni menjauhkan diri dari Tuhan dan memutuskan hubungan dengan keluarga kerajaan Tuhan. Orang berdosa adalah seperti anak bungsu yang dengan memburu kesenangan dosa, memboroskan karunia-karunia yang diberikan oleh Tuhan. Ia kehilangan hidup yang benar dan sejati yang hanya dapat ditemukan dalam hubungan yang benar dengan Tuhan. Dapat dikatakan bahwa mereka sedang mengalami kematian rohani. Mungkin juga kita sedang dalam posisi si anak sulung yang merasa diri benar, merasa diri dekat dengan Tuhan dan berhak mendapatkan keselamatan karena kesalehannya. Ini adalah bentuk kesombongan rohani yang menganggap bahwa orang yang berdosa harus dihukum dan tidak layak untuk diselamatkan. Anak sulung itu melambangkan orang yang kelihatannya secara lahiriah menaati perintah Tuhan, tetapi hati mereka terpisah dari Dia dan tujuan-Nya bagi kerajaan itu. Bapa dalam perumpamaan ini memberikan segala hal kepada anak bungsunya bahkan mengadakan pesta untuk merayakan kedatangannya. Ketika orang berdosa dengan tulus hati memohon pengampunan Tuhan, maka Tuhan sudah siap menerima mereka dengan pengampunan, kasih, dan mengembalikan hak penuh sebagai anak Tuhan. Tuhan begitu bersukacita atas pertobatan orang yang berdosa. Ia ingin agar semua orang yang ada di dekatnya juga menerima kembali setiap orang berdosa yang bertobat. Sukacita surgawi akan terjadi karena satu orang yang bertobat (Luk 15:10).

Seperti ayah dalam perumpamaan ini yang tidak peduli dengan motivasi anaknya untuk pulang ke rumah, begitu juga Bapa yang hanya mementingkan keselamatan manusia dan tidak mengungkit-ungkit dosa-dosa yang telah dilakukan manusia dan menyakiti hati Bapa. Bapa tak pernah menutup pintu hatinya bagi anak-anakNya. Ia hanya ingin agar seluruh manusia ciptaanNya berbahagia akan keselamatan yang sudah dirancangnya bagi mereka. Akan tetapi, kebahagiaan sang ayah dalam perumpamaan ini terpaksa dihentikan sementara oleh anak sulungnya yang merasa iri. Si sulung tidak mau menerima adiknya sebagai saudaranya. Ia merasa adiknya sudah berdosa dan harus dihukum, bukannya diterima dengan baik, apalagi sampai dipestakan. Ia tidak memiliki rasa belas kasihan pada adiknya yang sudah mendapatkan pelajaran dari pengalaman buruknya. Ia merasa diri benar, merasa kasihan pada diri sendiri, dan merasa terasing secara batin. Padahal bagi Bapa, orang-orang saleh, yang taat hukum dan selama ini dekat dengan Bapa, relasinya tak pernah terganggu.

Dalam kisah perumpamaan ini, kita bisa melihat bagaimana pandangan atau persepsi salah dari kedua anak ini terhadap ayahnya. Si bungsu menganggap bahwa ayahnya tidak akan menerimanya lagi karena perilaku buruknya. Sedangkan si sulung menganggap ayahnya tidak adil. Ia hanya memandang diri sebagai budak dari ayahnya hanya karena ayahnya tak pernah melakukan sesuatu yang istimewa baginya. Bagi orang yang berdosa, kisah ini mengingatkan kembali bahwa Tuhan itu penuh kasih, yang mau mengampuni bahkan ketika kata maaf dan sesal masih ada di dalam hati. Sedangkan bagi orang yang selama ini merasa dirinya saleh dan dekat dengan Bapa, seperti yang diwakili oleh para ahli Taurat dan kaum Farisi, kisah ini mengingatkan mereka bahwa Bapa tidak pernah sekalipun menganggap mereka hanya sebagai budak saja. Seharusnya mereka bersukacita ketika ada saudara mereka yang bertobat dan kembali ke pangkuan Bapa. Sikap tidak bersukacita menunjukkan bahwa mereka tak bisa menerima saudaranya sendiri dan menolak kasih Tuhan. Sebagai anak Bapa, mereka harusnya ikut serta dalam kasih dan sukacita Bapa, dengan mengasihi saudaranya khususnya yang berdosa, dan bukan memandang jijik. Anak sulung itu senantiasa memiliki relasi erat dengan Bapa. Ia tetaplah pewaris yang utama. Seseorang yang relasinya dekat dengan Bapa, tak selayaknya menyimpan rasa iri, dengki dan tak memiliki hati yang penuh kasih. Ia harusnya meniru perilaku Bapanya yang maha pengampun dan ikut bersukacita atas kebahagiaan Bapanya. Apakah kita selalu ingat bahwa Bapa senantiasa mengasihi kita tanpa syarat dan selalu menerima kita dalam hatinya apapun yang kita lakukan? Jika kita melakukan suatu dosa dan menyesalinya, Bapa begitu bahagia menyambut dan menerima kita kembali ke rumahNya. Meski kita merasa bahwa kita tak layak untuk kembali kepada Bapa, namun Bapa begitu merindukan kita untuk pulang kembali ke hatiNya.  Dan karena kasih Bapa yang begitu besar telah dilimpahkan atas kita, maka kita pun harus mengasihi sesama manusia, apapun keadaannya.

Pertobatan itu membawa manusia kepada keselamatan, karena Tuhan yang maha rahim akan melepaskan manusia dari belenggu dosa-dosanya itu. Tuhan senantiasa menunggu setiap anaknya untuk bertobat dan kembali ke rumahnya. Keselamatan pun tidak hanya ditentukan oleh ketaatan pada peraturan saja, tapi bagaimana kita bersikap dengan sesama kita. Keselamatan juga tergantung bagaimana kita bisa menerima sesama kita, khusunya yang berdosa. Keselamatan bukan hanya urusan pribadi dengan Tuhan, tapi juga menyangkut hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya. Pertobatan bukan hanya penerimaan kembali orang yang berdosa oleh Tuhan, tetapi juga penerimaan oleh komunitasnya. Inilah aspek komunal dari keselamatan. (Memet_johan)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMAKNAI PERTOBATAN ; BERUBAH DAN BERBUAH !!

KEBIASAAN BAIK UMAT KATOLIK