MEMAKNAI PERTOBATAN ; BERUBAH DAN BERBUAH !!

 


    Umat Katolik pada bulan ini memasuki masa Prapaskah tahun 2024. Kebiasaan yang mewarnai masa Prapaskah ini yaitu pertobatan. Ada kalanya orang mengatakan bahwa masa prapaskah itu mirip dengan sebuah retret agung selama empat puluh hari dan empat puluh malam, di mana selama retret agung ini kita dapat mengalami sebuah pertobatan sejati atau yang lebih dikenal dengan nama metanoia. Kata metanoia sendiri berarti “perubahan pikiran” untuk menjadi yang terbaik. Orang yang mengalami metanoia adalah orang yang benar-benar berubah pikiran atau berubah kiblat hidupnya, dan hidupnya hanya terarah kepada Tuhan Allah saja. Tentu saja proses perubahan berawal dari pengalaman pribadi pernah jatuh ke dalam dosa, menyadari dosa dan akibat-akibatnya lalu berusaha untuk berbalik kepada Tuhan dan mengikuti jalan dan perintah-perintah-Nya.

Pertanyaan awal: Apakah kita pernah mengalami sekali saja jatuh ke dalam dosa dan hingga saat ini selalu mengulangi doa yang sama? Apakah kita pernah mengalami kesulitan untuk bermetanoia? Sebuah pertobatan sejati itu bukan hanya sekedar sebuah niat baik, melainkan sebuah kesungguhan yang berasal dari kedalaman hati kita untuk mengikuti jalan Tuhan. Pertobatan sejati itu berasal dari dalam hati, bukan hanya sekedar angan-angan dalam pikiran kita saja. Niat baik untuk bertobat belum cukup. Kita butuh rahmat dan kasih Tuhan Yang Maharahim.

    Saya mengingat St. Theresa dari Kalkuta. Beliau pernah berkata: “Beberapa orang kudus menggambarkan diri mereka sebagai penjahat yang mengerikan karena mereka melihat Tuhan, mereka melihat diri mereka sendiri dan dari situ mereka menemukan letak perbedaannya.” Perkataan orang kudus modern ini menggambarkan kehidupan kita yang nyata di hadirat Tuhan. Kalau kita berada di hadirat Tuhan kita akan merasa bahwa diri kita tidak lebih dari sebutir debu. Betapa diri kita itu hina di hadirat Tuhan karena dosa dan salah yang sadar dan tidak sadar kita lakukan di setiap waktu kehidupan. Tuhan Allah sendiri berkata: “Dosa itu sudah mengintip di depan pintu, ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya” (Kej 4:7).

    Masalahnya adalah manusia memang lemah sehingga ketika dosa menggodanya, ia pun langsung menikmati dosa itu. Dalam Kitab Mazmur kita membaca: “Dosa bertutur di lubuk hati orang fasik; rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu.” (Mzm 36:1). Maka tepat sekali perkataan St. Theresia dari Kalkuta bahwa ada beberapa orang kudus memang menggambarkan diri mereka sebagai penjahat yang mengerikan ketika memkitang Tuhan dan memkitang pada dirinya sendiri sambil menemukan perbedaan dirinya dengan Tuhan yang Mahasempurna. Hal yang terpenting di sini adalah Tuhan turut bekerja untuk mempertobatkan orang-orang berdosa.

Bertobat dari kebiasaan jatuh ke dalam dosa yang sama bukanlah hal yang mudah. Lagi pula dosa itu sendiri selalu mengintip dan menggoda kehidupan kita. Maka mudah sekali orang merasa tergoda dan jatuh lagi ke dalam dosa yang sama. Namun apakah kita begitu lemah dan menyerah kepada dosa yang sama? Jawabannya tidak! Kita memiliki Tuhan Allah yang maharahim. Ia akan menguatkan dan memulihkan kita dari noda dosa. Orang berdosa sekalipun Ia sembuhkan. Hanya kita sajalah yang tidak mau merasa diri sebagai orang berdosa sehingga sulit bagi kita untuk bertobat. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk 19:10). Banyak di antara kita memilih bersembunyi dari dosa-dosa kita.

 

    Mari kita sejenak melihat contoh pribadi-pribadi tertentu yang mengalami pertobatan sejati:

Pertama, Sang Anak bungsu dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (Luk 15: 11-32). Anak bungsu memanfaat kemurahan hati Bapanya dengan mengambil harta yang menjadi haknya, lalu pergi ke tempat yang jauh. Di sana ia hidup berfoya-foya dan menikmati dosa. Ia akhirnya sadar bahwa dosa itu menghancurkannya maka ia mengingat kembali kerahiman Bapanya. Ia pun berniat untuk kembali kepada Bapanya. Ia memang berniat untuk menemui Bapanya, tetapi yang terjadi adalah Bapanya yang keluar dari rumah, membuka tangan kasihnya untuk memeluk dan menciumnya, memberinya gaun baru berupa sebuah jubah, cincin baru, dan alas kaki baru, serta pesta sebagai tkita kasih dan sukacita pertobatan. Pertobatan sejati adalah rencana Tuhan bukan rencana dan keinginan kita. Dialah yang memanggil kita kepada diri-Nya. Dialah Bapa selama-lamanya maharahim!

Kedua, Zakheus. Beliau adalah seorang kepala pemungut cukai dan termasuk seorang yang kaya di Yerikho. Ia sudah mendengar tentang Yesus dari Nazareth yang sedang melakukan lawatan-Nya sambil berbuat baik dengan melewati kota Yerikho. Zakheus mencoba untuk memanjat pohon ara untuk melihat Yesus dari atas. Tetapi nyatanya Yesuslah yang melihat dan menyapa dengan namanya sendiri. Zakheus turun dan menerima Yesus di rumahnya. Ia mengalami pertobatan sejati dengan berjanji: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (Luk 19:8). Zakheus mengalami metanoia yang radikal. Orang sombong berubah menjadi rendah hati karena rahmat Tuhan. Memang, kerahiman Allah dalam diri Yesus dirasakannya dengan sempurna.

Ketiga, St. Paulus dalam Kisah Para Rasul. Ia mengawali hidupnya sebagai Saulus yang memiliki sisi gelap yang luar biasa. Ia siap untuk menghabiskan semua orang yang mengikuti Yesus dari Nazaret. Berbagai rencana untuk menganiaya dan menghabiskan orang-orang yang mengikuti Yesus dari Nazaret dimilikinya. Semua rencana berubah total ketika Tuhan Yesus mememberinya terang, dan menyapanya dengan namanya sendiri. Ia mengalami pertobatan sejati dan berubah dari Saulus menjadi Paulus. Semua ini diceritakannya dalam Kisah Para Rasul 9:1-31; 22:1-22 dan 26:9-24. Buah pertobatan sejatinya adalah ia menjadi rasul dan misionaris bangsa-bangsa.

Keempat, St. Agustinus. Dia memulai masa mudanya dengan hidup dan menikmati dunia dan gemerlapnya. Ibunya Monika berdoa dan berharap bahwa anaknya ini akan berubah kiblat hidupnya kepada Tuhan. Hal ini tidak masuk dalam pikiran Patrisius ayahnya. Namun, pengurbanan seorang ibu yang saleh menghasilkan pertobatan sejati dalam diri anaknya. Agustinus dibaptis oleh Uskup Ambrosius dari kota Milano, Italia. Ketika bertobat, ia mengungkapkan isi hatinya: “Tardi ti ho amato” (Betapa lambatnya aku mengasihi-Mu). Bagi Tuhan, tidak ada yang terlambat. Hal terpenting adalah kesadaran untuk bertobat secara radikal.

 

    Kita kembali ke sakramen tobat yang menjadi harta rohani di dalam Gereja Katolik. Tuhan Yesus sendiri menetapkan sakramen tobat ketika Ia memperlihatkan dirin-Nya kepada Para Rasul pada hari Paskah. Ia berkata: “Terimalah Roh Kudus ini. Jika kamu mengampuni dosa orang, maka dosanya diampuni. Jika kamu mengatakan dosa orang tetap ada, maka dosanya tetap ada” (Yoh 20: 22a-23). Ini adalah kuasa yang Tuhan berikan kepada para rasul dan pengganti-penggantinya hingga saat ini di dalam Gereja Katolik. Maka pertobatan sejati dapat kita lakukan dengan mendekatkan diri kita pada sakramen tobat ini. Kita butuh pemeriksaan bathin yang baik dan benar. Pedoman kita adalah sepuluh perintah Allah, lima perintah Gereja, sakramen-sakramen, kebajikan-kebajikan, sabda bahagia, panggilan hidup dan lain sebagainya. Kalau saja kita tidak setia melakukannya maka kita mengakuinya dengan jujur di hadapan Bapak Pengakuan. Pada akhirnya kita menyesal dan menerima absolusi. Pastor sebagai pelayan Tuhan akan berdoa sambil memberkati kita: “Allah Bapa yang Mahamurah telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya, dalam wafat dan kebangkitan Putra-Nya. Ia telah mencurahkan Roh Kudus demi pengampunan dosa. Dan berkat pelayanan Gereja, Ia melimpahkan pengampunan dan damai kepada orang yang bertobat. Maka, saya melepaskan saudara dari dosa-dosa saudara. Demi nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus.”

 

    Dari segi manusia, pertobatan merupakan jawaban manusia terhadap panggilan Tuhan Allah. Di dalam jawaban itu manusia dengan seluruh pribadinya dan seluruh eksistensinya dikuasai oleh ketaatan kepada kehendak Tuhan Allah. Bertobat merupakan suatu tindakan yang tidak mau berbalik lagi kepada berhala dunia ini dan menghadap Tuhan Allah serta berbakti kepadaNya. Dalam pertobatan ada 3 unsur dasariah yaitu :

1. Insaf, yaitu berarti menyesal. Perasaan yang sedih hati karena dosa-dosanya. Perasaan ini timbul jika seseorang sadar akan hidupnya yang telah melukai Tuhan. Keinsafan ini bisa kita lihat dalam penyesalan Daud. Penyesalan ini bisa terjadi karena pekerjaan Roh Kudus dimana hidup kita yang lama dibongkar yaitu hidup kita dalam dosa dan dibangun hidup yang baru.

2. Membenci dosa, yaitu suatu tindakan yang dilakukan setelah menyadari kesalahan-kesalahan maka orang itu akan membenci segala tindakannya yang lama yang telah melukai Allah. Pada masa ini tindakan dosa yang dulu dianggap bagus kini akan dibenci.

3. Kembali kepada Allah, yaitu orang yang sudah menyadari dosa-dosanya dan juga membencinya maka dia akan rela hatinya untuk menerima peraturan-peraturan dan hukum-hukum Allah. Orang yang sudah bertobat mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya pedoman untuk kebahagiaan hidupnya.


    Dari gagasan di atas dapat disebutkan bahwa pertobatan itu merupakan suatu proses untuk menanggalkan manusia yang lama dan memakai manusia yang baru. Manusia yang baru merupakan hidup yang masih terus menerus bertumbuh, diperbaharui atau dengan kata lain hidup dalam proses. Hidup baru dalam proses berarti masih hidup atau jalan bersama dengan hidup yang lama. Makin maju perkembangan manusia baru makin berkuranglah kekuatan manusia yang lama atau cara hidup yang lama itu. Jadi hidup yang baru itu penuh dengan peperangan antara manusia yang lama dan manusia yang baru. Kadang-kadang di dalam peperangan itu orang beriman dapat jatuh yang berarti manusia yang lama menang akan tetapi orang beriman harus bangkit kembali untuk harus bertobat lagi. Inilah yang disebut dengan pertobatan sehari-hari. Pertobatan ini berbeda dengan pertobatan pokok yang dilakukan sekali pada awal hidup yang baru ketika orang mulai membelakangi hidupnya yang lama dan mengharapkan hidup yang baru. Dalam hal ini pertobatan itu bukanlah pekerjaan manusia tetapi pertobatan ini berasal dari Allah. Namun manusia tidak pasif melainkan ia aktif menjawab pekerjaan Allah di dalam dia. Tindakan itu penting sebab tanpa tindakan itu maka tidak ada pertobatan. Dengan bertobat kita mengupayakan agar hidup kita menjadi tanah yang subur bagi pertumbuhan benih-benih kebaikan, sehingga bisa memberikan buah-buah kebaikan bagi sesama.


    Seringkali kita berpikir bahwa aneka kemalangan dan derita yang kita alami itu semata-mata karena dosa. Orang merasa bahwa Tuhan sedang memberikan pembalasan kepada kita karena kita tidak setia.

Apakah memang demikian? Kalau memang benar begitu, bagaimana mungkin Tuhan yang berbelaskasih itu sedemikian keji? Bukankah Allah sering digambarkan sebagai sosok yang penuh belaskasih, mahapengampun, dan tidak mendendam?

Gambaran demikian saya kira kurang tepat. Kemalangan dan derita yang kita alami bukanlah hukuman dari Allah. Kemalangan atau aneka kegagalan itu seringkali terjadi karena banyak faktor, entah karena kelalaian kita, kecerobohan kita, atau bahkan kerakusan kita.

Bacaan-bacaan Kitab Suci selama masa prapaskah memberi gambaran bagi kita tentang Allah yang berbelaskasih, yang memberi kesempatan bagi manusia untuk memperbaiki diri. Singkatnya, Allah memberi kesempatan bagi kita untuk bertobat.

Bertobat berarti mau menyadari, menyesali dan memperbaiki diri. Bertobat berarti mau meninggalkan cara hidup lama yang sering sibuk dengan diri sendiri, sehingga lupa akan sesama dan Tuhan.


    Dalam ajaranNya Tuhan Yesus menyebut dua tempat berbeda: Galilea dan Yerusalem. Dari dua tempat ini kita belajar tentang dua tipe dosa yang perlu kita perbaiki. Kedua tempat ini punya karakter “dosa” yang berbeda. Keduanya bahkan saling bersaing satu sama lain.

Pertama, orang-orang Galilea hidup di daerah yang punya lahan pertanian subur. Meski begitu banyak masalah sosial terjadi di sana, yakni berbagai ketimpangan sosial antara yang kaya dan yang miskin. Yang kaya adalah orang-orang yang punya peluang menguasai pertanian dan bisnis.

Sebaliknya yang miskin tidak punya kesempatan apapun. Maka situasi yang terjadi adalah: yang kaya makin kaya, yang miskin makin tersingkir. Si kaya sering mengabaikan orang dan terlalu memusatkan perhatian pada kehidupan mereka sendiri. Inilah tipe dosa yang perlu kita jauhi, abai terhadap sesame dan terlalu asyik dengan diri sendiri.

Kedua, orang-orang Yerusalem punya Bait Allah sebagai pusat peribadatan dan keagamaan bangsa Israel (termasuk juga bagi orang Galilea). Maka mereka sombong karena merasa diri sebagai orang-orang yang saleh, orang yang hidup keagamaannya paling benar, bahkan mereka seolah bisa “mengatur” Tuhan. Mereka menganggap diri mereka lebih baik daripada orang yang tinggal di tempat lain. Inilah tipe dosa kedua yang perlu diwaspadai, siksp merasa diri lebih baik, lebih suci dn lebih saleh daripada orang lain.


    Bertobat adalah sarana memperbaiki diri. Bertobat tidak hanya berhenti pada menyadari dan meratapi dosa atau kesalahan, tetapi lebih dari itu. Kita mau memperbaiki diri dengan mengusahakan agar hidup kita bertumbuh subur dan menghasilkan buah. Dengan bertobat kita mengupayakan agar hidup kita menjadi tanah yang subur bagi pertumbuhan benih-benih kebaikan, sehingga bisa memberikan buah-buah kebaikan bagi sesama. Maka pertobatan berarti kita mau berubah supaya bisa berbuah ! @memet_johan





Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERTOBATAN MEMBAWA KESELAMATAN

KEBIASAAN BAIK UMAT KATOLIK