MODERASI BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF AGAMA KATOLIK

 


   Pernahkan anda mendengar tentang Moderasi Beragama? Atau mungkin sudah pernah mengikuti seminar/workshop atau pembinaan terkait Moderasi Beragama? Moderasi berasal dari bahasa Latin moderatio, yang berarti ke-sedang-an, tidak kelebihan, dan tidak kekurangan, alias seimbang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata moderasi didefinisikan sebagai pengurangan kekerasan, atau penghindaran keekstreman. Dengan demikian Moderasi Beragama dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap dan prilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil dan tidak ekstrim dalam beragama. Moderasi Beragama juga dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, praktek beragama yang menjunjung tinggi martabat manusia, mengusahakan kemaslahatan umat manusia, dengan prinsip adil, seimbang dan taat konstitusi.


Pada hakekatnya agama itu (apapun jenis agama) sudah built in / fixed dalam ajarannya, yang perlu dimoderasi adalah cara beragama, cara memahami ajaran agama, cara mengamalkan ajaran agama dengan moderat. Maka dibutuhkan pemahaman yang komprehensif yang dapat mengakomodir dan meluruskan paham-paham yang bertentangan dengan kepentingan bersama, untuk keberlangsungan kehidupan umat beragama. Penanganan secara khusus dan terencana harus dilakukan oleh berbagai pihak (termasuk Umat Katolik) agar dapat meminimalisir konflik dan mencegah hal yg bersifat extrim.

 

Sejatinya diksi moderasi beragama tidak dikenal dalam Kitab Suci agama Katolik baik, dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru. Demikian pula tidak ditemukan dalam dokumen ajaran Gereja, namun secara substantif, mengacu pada pengertian moderasi beragama di atas, maka moderasi beragama itu Katolik banget. Artinya ajaran Cinta kasih dalam agama katolik sudah mencakup nilai nilai yang ditawarkan dalam moderasi beragama. Hukum cinta kasih adalah dasar utama sikap toleran terhadap sesama. Dalam Injil Luk 10; 25-37 diceritakan bagaimana ketika seorang Farisi bertanya kepada Yesus: “Siapakah sesamaku manusia?” Yesus menceritakan kisah tentang orang Samaria yang baik hati. Orang Samaria telah memperlakukan orang Yahudi, yang dianggap musuhnya, yang tertimpa bencana dijalan seperti saudaranya sendiri.

 

Dalam Gereja Katolik memiliki gagasan moderasi beragama yang sudah tersirat dalam Konsili Vatikan II. Pandangan itu ada dalam dokumen Nostra Aetate. Artikel no. 2 dari dokumen tersebut menyatakan: “Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci” jadi moderasi beragama harus dipahami baik dan dilaksanakan oleh kita semua warga negara.


Dalam tradisi Katolik, moderasi beragama menjadi cara pandang untuk menengahi Extremitas tafsir ajaran Katolik yang dipahami oleh sebagian orang umatnya, salah satu kita untuk memperkuat moderasi beragama adalah melakukan interaksi semaksimal mungkin antara pemeluk agama yang satu dengan agama lain, aliran satu dengan aliran lain,  modersi beragama memiliki arti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan moral dan watak sebagai ekspresi sikap keagamaan individu atau kelompok tertentu di tengah keberagaman dan kebhinekaan fakta sosial yang melingkupi kita.

Kitab Suci/Alkitab kami mengisahkan tentang juru damai, Yesus Kristus yang dalam ajaranNya tidak mengidentifikasi, mengajak orang untuk memahami bahwa perbuatan merusak, kekerasan apa lagi peperangan sangat tidak dibenarkan. Hampir semua ayat mengajarkan cita-cita, harapan untuk mewujudkan kedamaian dimuka bumi ini.

 

Apa saja nilai-nilai moderasi beragama? Toleransi : Moderasi berarti tidak berpihak pada pihak manapun, bersikap adil, dan tidak membenci kelompok lain, hal ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Sikap saling menghormati, menghargai antar pemeluk agama, menjadi sangat penting demi terciptanya kerukunan dan ketentraman masyarakat.

Nilai moral dari moderasi beragama sangat erat terkait dengan menjaga kebersamaan dengan memiliki sikap tenggang rasa, saling memahami dan ikut merasakan satu sama lain yang berbeda dengan kita tanpa memandang mereka kaum minoritas. kaum mayoritas tidak berpandangan bumi ini milik mereka saja tumpul rasa toleran. Jadi kita harus berusaha supaya selalu bersikap moderat tidak berlebih lebihan atau ekstrim. selalu mengamalkan prinsip: keadilan, keseimbangan dan toleran


Tujuan moderasi beragama yaitu: Proses memahami agama sekaligus mengimplementasikan ajaran agama secara seimbang dan adil. Demikian itu dilakukan agar terhindar dari perilaku yang terlalu berlebih-lebihan dalam beragama atau dalam istilah lian yaitu perilaku ekstrem


Bagaimana bentuk Moderasi beragama: Cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik eksterm kanan maupun eksterm kiri. Bangsa Indonesia adalah beragama mengajarkan agama yang ramah dan menghargai keberagaman.

Ada 4 indikator Moderasi :

a.   Komitmen kebangsaan yang kuat

b.   Sikap toleran terhadap sesama,

c.   Memiliki prinsip menolak tindakan kekerasan baik secara fisik maupun verbal

d.   Menghargai tradisi dan budaya lokal masyarakat Indonesia yang sangat beragam.

dan Indikator Umum moderasi yakni: Pertengahan,toleran, seimbang, konsisten, tegas dan berlaku adil.


Bagaimana cara kita menerapkan yakni: Menempatkan agama sebagai jalan hidup, tidak anti dengan perbedaan pandangan, menghindari sikap evaliatif dalam terhadap perbedaan, memandang perbedaan sebagai hal positif, memahami orang lain dan tidak merasa benar sendiri, serta senantiasa menebarkan kebaikan agama kita.

Moderasi berarti ke-sedang-an, tidak kelebihan dan tidak kekurangan. Moderasi beragama merujuk pada sikap mengurangi kekerasan atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama. Terminologi ini tidak serta merta diterima dengan pikiran yang arif oleh semua masyarakat. Ada beberapa kelompok yang menolak moderasi beragama karena beranggapan bahwa yang dimoderasi adalah agama. Agama dibuat tengah-tengah sehingga mengakibatkan orang menjadi tidak serius dalam beragama. Bahkan, membuat orang tidak beragama secara utuh. Jadi, moderasi beragama bukan pertama-tama untuk menyingkirkan yang lain. Dalam beragama, ada dua ekstrem cara yang ditempuh.

Pertama, ekstrim yang mengarah kepada ekstrimisme fundamentalis yakni mereka yang sangat yakin dengan agamanya sendiri, dan pada saat yang sama menganggap bahwa agama dan kepercayaan orang lain salah. Cara ini tentu sangat membawa imbas yang besar terhadap hidup bersama.

Kedua, ekstrem kiri yaitu orang-orang yang menganggap bahwa agama tidak penting. Apalagi hidup dalam lingkungan tertentu di mana agama sering menjadi masalah dan perbuatan-perbuatan baik sering dihalangi kalau identitas agamanya ditonjolkan atau menyembunyikan identitas karena ingin memperoleh keuntungan tertentu baik diri maupun kelompoknya.

Paus Fransiskus pernah berkata: “Saya lebih memilih gereja yang memar, terluka, dan kotor karena telah keluar dari jalanan, daripada gereja yang tidak sehat karena terkurung dan tidak bergantung pada keamanannya sendiri.” Saya memaknai pendapat ini sebagai ajakan sekaligus motivasi bagi umat Katolik untuk membawa agama sehingga bermanfaat dalam perjuangan bersama. Harapannya, agama makin berbicara di dalam hidup bermasyarakat. Moderasi beragama bukanlah cara beragama yang pasif atau ekstrim yang seringkali membawa dampak yang destruktif bagi kehidupan sosial. Moderasi beragama juga bukan berarti menghayati agama dengan setengah-setengah atau diperkecil porsinya.

Kementerian Agama Republik Indonesia memberikan pemahaman bahwa moderasi beragama adalah penghayatan dalam hidup beragama yang adil dan seimbang, baik dalam beriman maupun dalam kehidupan masyarakat. Hal ini mengingat atau mengacu pada tiga hal.

Pertama, dalam sejarah dan perjalanan negara kita, ada pengalaman-pengalaman di mana hidup beragama itu menjadi sedemikian ekstrem.

Bahkan ketika identitas agama itu mencuat sedemikian besar di ranah publik sehingga bisa digunakan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan. Hal ini menjadi indikasi bahwa identitas agama seolah-olah digunakan untuk mendominasi atau untuk menegasi elemen-elemen tertentu di dalam masyarakat.

Kedua, berhubungan dengan realitas negara kita yang sedemikian majemuk. Secara umum, keragaman dalam beragama di Indonesia tidak mungkin dihilangkan. Penyebaran populasi manusia yang disertai dengan semakin kompleksnya persoalan, bisa saja menimbulkan konflik yang memberangus peradaban. Moderasi beragama menjadi penting dalam konteks ini sehingga bisa menjaga agar peradaban manusia tidak musnah akibat konflik dan kekerasan berlatar agama.

Ketiga, ada anggapan bahwa seakan-akan identitas agama menjadi yang urgen dan sangat penting. Padahal, ada begitu banyak identitas lain yang dibutuhkan untuk hidup bersama sebagai sebuah bangsa seperti adat istiadat, bahasa nasional, lambang negara, bendera negara, termasuk juga ideologi nasional, dan lagu kebangsaan, yaitu Indonesia Raya.

Ketika ada glorifikasi terhadap identitas agama dan menempatkan perbedaan agama sebagai satu-satunya yang super, maka orang bukan lagi berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan namun berjuang untuk saling menyakiti atas nama agama itu sendiri. Ketika berhadapan dengan orang yang superior dan merasa menang dalam konteks menyakiti dan melukai perasaan orang lain atas nama agama, kita sebagai orang Katolik haruslah tegas dan berani berkata bahwa: “Ada yang tidak sehat dari relasi antaragama di Indonesia.” Masih tersimpan dengan baik di benak saya beberapa peristiwa atau kejadian mengerikan seperti terorisme dan beberapa kasus diskriminasi atas nama agama. Dua kelompok ini, baik terorisme maupun yang melakukan diskriminasi atas nama agama, seringkali dipersepsikan sebagai kelompok pemenang yang membuat orang lain terluka. Kejadian terorisme dan diskriminasi atas nama agama akhirnya membuat banyak orang Katolik lebih senang tinggal dalam ruang-ruang privat untuk beribadah dan mempertebal iman serta menemukan ketenangan diri.

Tagline yang dahulu sering digembar-gemborkan bahwa gereja itu bukan hanya di altar semata tetapi juga di pasar menjadi semakin kendor. Ruang ibadah (altar) menjadi sangat dominan dan tempat favorit bagi umat Katolik untuk menghabiskan energi dan waktu sehingga pasar atau ruang kemasyarakatan menjadi sepi dan bukan menjadi medan evangelisasi primadona. Jika hal itu yang terjadi maka keadaan kita memang sedang tidak baik-baik saja atau sedang terjadi masalah dalam ruang kemasyarakatan. Umat Katolik diharapkan hadir dan menjadi mitra atau teman seperjalanan bagi semua orang yang berbeda agama dalam satu bangsa untuk berjuang dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya moderasi beragama. Maka hal yang sangat dibutuhkan dalam upaya penyadaran adalah adanya pertobatan kemasyarakatan.

Dalam rangka meningkatkan kapasitas tentang moderasi beragama, semua umat Katolik dari lembaga mana pun (Keluarga, Lingkungan, Sekolah, Gereja) dan negara memiliki andil yang signifikan untuk menghadirkan ruang perjumpaan dan membangun jembatan yang bisa mempertemukan semua insan sehingga mereka memiliki pengalaman yang bermakna tentang moderasi beragama. Ruang perjumpaan dalam menghadirkan pengalaman empirik terbaik tentang moderasi beragama perlu didesain sedemikian menarik sehingga menjadi pengalaman yang berkesan dan menarik terutama bagi kaum muda, mengingat mereka termasuk cukup steril dan bebas dari kepentingan manapun. Hal itu tentu sangat didukung oleh materi sharing atau dialog seperti tentang kehidupan, karya, dan iman yang dikemas dalam metode yang kreatif. Negara memiliki peran penting dan berarti dalam rangka penguatan moderasi beragama secara sistematis dan terencana. Negara harus hadir memfasilitasi terciptanya ruang-ruang publik yang sehat untuk menciptakan interaksi masyarakat lintas agama dan kepercayaan. Jangan sebaliknya, melahirkan regulasi dan peraturan dengan sentimen agama tertentu yang diterapkan dan diberlakukan di ruang publik. Negara memfasilitasi, bukan membatasi.

Moderasi beragama adalah bagian dari strategi bangsa ini dalam  merawat Indonesia sebagai bangsa  yang  sangat    beragam, sejak awal   para  pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan  satu bentuk kesepakatan  dalam berbangsa dan bernegara, yakni Negara kesatuan Republik Indonesia, yang  telah nyata berhasil  menyatukan semua, Indonesia disepakati BUKAN NEGARA AGAMA, Tapi juga TIDAK MEMISAHKAN AGAMA DARI KEHIDUPAN SEHARI SEHARI-HARI. Maka dengan moderasi Bergama diharapkan : Menciptakan kehidupan  keagamaan yang rukun, harmoni, dan damai, Memberikan keseimbangan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun kehidupan secara keseluruhan, Memunculkan rasa persatuan dan kesatuan dalam  keberagaman yang ada dan dapat Mencegah adanya suatu konflik.

Implementasi moderasi beragama adalah bagaimana cara pandang kita dalam beragama secara moderat, memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrim, radikalisme, ujaran kebencian, hingga retaknya antar umat umat beragama merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Solusi ketika terjadi kendala dalam penerapan moderasi yaitu memiliki paham keagamaan yang benar dan menjauhkan pemahaman yang berlebihan, melampaui batas, ekstrim agar tidak bertolak belakang dengan pandangan esensi ajaran agama yaitu memanusiakan manusia. @Memet_Johan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMAKNAI PERTOBATAN ; BERUBAH DAN BERBUAH !!

PERTOBATAN MEMBAWA KESELAMATAN

KEBIASAAN BAIK UMAT KATOLIK