RENDAH HATI DAN PEMAAF

 


Dalam setiap budaya dimuka bumi ini setidaknya ada tiga kata yang selalu diajarkan oleh orang tua atau guru sejak usia dini : terima kasih, tolong dan maaf. Kendati demikian, tidak mudah pula menjalankannya setelah dewasa. Kata yang paling sulit untuk dikatakannya adalah maaf dan yang paling sulit untuk dilakukan adalah memaafkan. Memang tidak mudah minta maaf apalagi memaafkan orang lain.  Ada pepatah yang mengatakan bahwa : “to err is human, but forgive is divine”, berbuat salah dan dosa adalah kodrat kemanusiaan, tetapi mengampuni adalah kodrat Illahi.

Kalau kita membaca berita-berita baik di koran, telivisi ataupun media sosial online, perlakuan hukum di negara kita begitu timpang. Kita kerap membaca berita: orang yang mencuri seekor ayam dipukuli sampai babak belur, bahkan sampai meninggal. Sedangkan orang yang “merampok” uang rakyat berjuta-juta bahkan bertrilyun-trilyun, masih dapat berlenggang kangkung hidup di alam bebas. Dunia kita ini memang sudah terbalik-balik.

 

Pengampunan itu membebaskan dan memberikan pembaruan hidup. Segala beban dibebaskan. Namun, bila kita belum percaya pada pengampunan dan belum mampu mengampuni diri sendiri, maka kita hidup sebagai orang yang masih mempunyai rasa sakit hati terhadap orang lain. Tanda-tanda sakit hati itu bisa muncul dalam bentuk misalnya masih mengingat-ingat atau menceritakan kejadian orang lain terus-menerus. Kita selalu menghitung-hitung kesalahan orang. Kepercayaan bahwa Allah mengampuni itu bukan karena usaha kita, tetapi karena belaskasih Allah. Sebelum kita percaya pada belaskasih Allah, usaha apapun dari diri kita untuk bisa mengampuni adalah kesia-siaan.

 

Kita sering merasa sangat sulit dan sangat berat kalau harus memaafkan, harus mengampuni sesama kita yang bersalah dan menyakiti hati kita. Apalagi kalau yang berbuat salah dan menyakiti itu adalah teman dekat kita, anggota keluarga kita, rekan kerja kita, sahabat baik kita atau pun siapa saja. Kita pun mengatakan, kesabaranku ada batasnya. Karena itu, memberi ampun dan memaafkan juga ada batasnya. Kita lebih mudah memaafkan diri sendiri ketimbang harus memaafkan orang lain. Kita malah mengatakan, tiada maaf bagimu. Pintu maaf sudah tertutup rapat. Kita pun menaruh dendam kesumat sampai mati, bahkan sampai tujuh turunan. Begitu keraskah hati kita? Padahal kita juga sangat membutuhkan pengampunan dan maaf dari orang lain, apalagi dari Tuhan sendiri.


Ketika Petrus bertanya kepada Yesus batas memberi maaf dan pengampunan, “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?”. Bagi Petrus, tujuh kali suatu batas maksimal bahkan lebih dalam memberikan pengampunan. Petrus tentu merasa cukup sampai tujuh kali, karena ia tau bahwa kesabaran itu ada batasnya. Tapi bagi Yesus itu tidak cukup. Tidak cukup sampai tujuh kali, tapi harus tujuh puluh kali tujuh kali. Itu berarti bahwa pengampunan tanpa batas. Seperti manusia jatuh dalam kelemahan dan dosa berkali-kali dan Allah dengan penuh kesabaran mengampuni manusia terus-menerus, maka demikian juga murid dan pengikuti Yesus harus belajar dan berlaku seperti Bapa, tanpa batas. Sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Sebagaimana manusia sangat bergantung pada belaskasih, kemurahan dan kebaikan Allah yang terus mengampuni tanpa batas, maka kita pun harus demikian juga mengampuni sesama kita tanpa batas. Contoh yang sangat jelas disampaikan Yesus dalam Injil tentang dua orang yang berhutang dan memohon keringanan/pengampunan.

 

Kita sering berlaku seperti orang pertama dalam Injil yang ketika menerima pengampunan dan pembebasan atas sekian banyak dan besarnya utang, seharusnya berlaku yang sama kepada orang yang berhutang kepada kita, karena kita pun telah mengalami belaskasih dan pengampunan tanpa batas dari Allah. Dengan mudah kita memaafkan diri, sementara menjadi begitu sulit dan berat ketika harus memaafkan dan mengampuni orang lain. Kebesaaran seseorang terletak dalam hal memberikan pengampunan tanpa batas, tanpa tuntutan, tanpa syarat. Kita masih merasa berat dan menuntut lebih besar dan berat bagi orang lain, dari pada kepada diri kita sendiri. Allah kita adalah Allah yang Maha mengampuni tanpa batas. Karena jika kita tidak mengampuni orang lain, Bapa di surga juga tidak akan mengampuni kesalahan kita.

 

Inilah syarat untuk masuk Kerajaan Allah, yaitu kalau kita berusaha untuk memaafkan dan mengampuni orang yang telah bersalah kepada kita, karena kita selalu berdoa, “ampunilah kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami”. Sebagaimana dalam Nabis Sirak juga pernah mengatakan, “Ampunilah kesalahan kepada sesama, niscaya dosa-dosamu pun akan dihapus juga, jika engkau berdoa” (Sir. 28:2). Dengan mengampuni, kita pun diampuni, tanpa batas, tanpa syarat.

Allah Bapa yang dalam Yesus Kristus telah mewahyukan pengampunan sebagai kabar gembira dan warta pembebasan. Itulah cara untuk meretas jalan baru, memutus mata rantai balas dendam dan kekerasan. Yesus tak hanya mengajarkan tetapi melaksanakannya dalam pengajaran dan teladan hidupnya. Bahkan disaat saat akhir ketika meregang nyawa, yang terucap adalah kata kata pengampunan : ”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Ia mengatakan kepada Petrus untuk mengampuni 70x7, ini berarti pengampunan tanpa batas karena ‘Tuhan adalah pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia” Melalui pembaptisan, kita semua telah dipanggil dan diangkat menjadi anak anak Allah serta mendapatkan anugerah hidup Ilahi. Salah satu ukuran menilai diri sendiri sejauh mana kita telah menjadi Anak Allah dan hidup Ilahi telah merasuki diri kita adalah kemampuan untuk mengampuni. Semakin meningkat kemampuan kita untuk mengampuni, maka semakin meningkat pula kualitas hidup Ilahi dalam diri kita.

Cinta Allah sempurna, itu terwujud dalam belas kasihan-Nya yang tiada batas. Entah sudah berapa kali telah kita daraskan doa Bapa Kami. Semoga setiap kali mendoakannya, kita juga serius memohon rahmat agar kita bertumbuh dalam belas kasih Allah dan dimampukan untuk mengampuni. 

Mengampuni merupakan pilihan sikap hidup yang rumit. Karena itu, Petrus membutuhkan suatu ukuran yang pasti sebagi pegangan agar dia bisa mengatur segenap kemampuannya untuk melakukan hal itu. Dia menyakini bahwa apabila dirinya telah mampu memenuhi tuntutan kuantitatif tertentu maka selesailah sudah tugasnya untuk mengampuni orang yang bersalah kepadanya. Persoalan Petrus adalah saling mengampuni antar sesama manusia. Yesus menyikapi pertanyaan murid-Nya tentang pengampunan yang harus diberikan terus-menerus. Inilah sikap Tuhan yang selalu mengampuni kita. Tuhan selalu terbuka dan menawarkan pengampunan kepada kita.

 

Memang, kita tidak mudah mengampuni kesalahan sesama apalagi mereka yang menyakiti hati. Sulit mengampuni menjadi tanda bahwa kita belum sungguh-sungguh mengalami kasih Tuhan. Kita seringkali berfokus pada diri dan kepentingan diri, seolah hanya kita yang ingin selamat. Kita perlu menyadari bahwa kita ikut bertanggungjawab atas keselamatan orang lain. Sebagai orang yang telah mengalami kasih Tuhan, kita perlu membagikannya kepada yang lain, yakni dalam pengampunan dan memaafkan sesama kita. Inilah saat yang baik yakni dalam masa tobat dan prapaskah ini, untuk berbenah diri dan siap untuk menerima pengampunan dari Tuhan dan siap memberi pengampunan kepada sesama. Sebab pengampunan selalu memberi ketenangan hati dan sukacita. Yesus meminta Petrus dan kita semua yang percaya kepada-Nya untuk mengampuni dengan sepenuh hati, tanpa batas kuantitatif tertentu. Batasan kuantitatif tertentu mengungkung diri dan meminimalisasi kreativitas manusia untuk mengampuni dengan sepenuh hati.


Apa makna perumpamaan ini bagi kita? Perumpamaan ini mengajarkan kita dua hal penting. 

Pertama, mengampuni itu harus tanpa batas. Kita tahu bahwa Yesus menolak hukum balas dendam dan menuntut para murid-Nya mengasihi musuh dan yang menganiaya mereka. Yesus mengubah hukum balas dendam menjadi hukum pengampunan. Yesus tidak hanya mengajarkan pengampunan yang tanpa batas, tetapi Ia sendiri mempraktikkan hukum pengampunan tanpa batas itu. Ketika disalibkan, Ia sangat menderita dan kesakitan, dihina, dicambuk, diludahi dan sebagainya, tetapi Yesus justru berdoa bagi orang-orang yang berbuat jahat kepada-Nya: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Dalam pengalaman sehari-hari, tidak gampang bagi kita, bahkan sangat sulit untuk mempraktikkan pengampunan tanpa batas ini, apalagi pada orang yang berbuat jahat terhadap kita berulang-ulang kali. Namun, bagi kita pengikut Yesus, tidak ada hukum lain yang lebih membebaskan dan menyelamatkan kita selain hukum kasih dan pengampunan. Pengampunan itu pertama-tama membebaskan dan menyelamatkan diri kita sendiri.

 

Kedua, seseorang yang sudah menerima pengampunan harus juga mengampuni sesamanya. Kesalahan si hamba dalam perumpamaan tentang pengampunan bukanlah terletak pada ketidaksanggupannya membayar hutang, melainkan ia tidak berbelas kasih dan tidak bersedia mengampuni temannya. Dengan kata lain, ia tidak mempraktikkan pengampunan yang diterima dan dialaminya dari sang raja. Allah (Sang Raja) melalui Yesus, dengan cuma-cuma mengampuni segala hutang dosa kita, kita pun diminta berbuat yang sama kepada sesama seperti yang telah dilakukan-Nya. Yesus mengajarkan para murid-Nya berdoa kepada Bapa: “…dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Mat. 6:12). Satu-satunya tanggapan yang tepat untuk memperoleh rahmat pengampunan Bapa adalah membiarkan Dia mengubah hati kita sedemikian rupa sehingga kita dimampukan bertindak sama murah hati kepada sesama. Yesus juga mengatakan, ”Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu” (Mat. 6:14-15).

 

Kita harus berjuang untuk mempraktikkan hukum pengampunan karena kita menyadari bahwa kita pun tidak luput dari kesalahan dan bahwa Allah telah terlebih dahulu mengampuni kesalahan kita. Kesadaran dan keyakinan akan belas kasih Allah itu menjadi landasan utama bagi kita untuk berbelas kasih dan mengampuni, khususnya terhadap orang yang bersalah kepada kita. Marilah kita senantiasa mohon rahmat khusus dari Allah agar kita sanggup mempraktikkan hukum pengampunan sebagaimana yang diajarkan dan diteladankan oleh Yesus sendiri.

Menerapkan sikap rendah hati dalam kehidupan sehari sehari sebagai suatu sikap terpuji yang perlu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Sifat ini merupakan sifat yang ditunjukkan dengan cara tidak sombong terhadap apa yang kita miliki. Menerapkan sifat rendah hati dalam kehidupan ternyata mempunyai keutamaan tersendiri yang bermanfaat bagi kehidupan baik di dunia maupun di akhirat. Sifat tersebut dapat diterapkan dengan berbagai cara. Misalnya, tidak menyombongkan kelebihan di depan orang lain, selalu membuka diri terhadap masukan dan nasihat orang lain serta selalu menghargai keberhasilan orang lain.

Mungkin ada yang bertanya apa sih manfaatnya kita harus mempunyai sikap rendah hati di lingkungan kerja maupun lingkungan sehari-hari? Karena lingkungan kerja atau lingkungan sehari-hari menjadi tempat yang paling sering dikunjungi karena menghabiskan banyak waktu disana. Akan banyak relasi, orang-orang yang lebih berpengalaman dan orang-orang penting lainnya. Oleh sebab itu, sangat penting untuk mempunyai sikap rendah hati di lingkungan kerja agar tidak tercipta sifat sombong dan merasa paling hebat serta paling mampu.

Untuk menumbuhkan sikap rendah hati kita perlu menyadari beberapa hal yang pastinya sebagai orang beriman kita pasti akan mampu :

1.             Menyadari kebutuhan kita akan bantuan dan bimbingan dari orang lain.

2.             Mengimani kenyataan realitas spiritual dan transedental.

3.        Mengimani adanya kebutuhan kita untuk memberikan kepada kekuatan yang lebih tinggi. 

4.             Menyadari kebutuhan kita untuk menebus dan membersihkan kesalahan. 

5.             Menyadari keterbatasan kita dan kesalahan-kesalahan kita. 

6.             Mengimani adanya kehidupan setelah kematian.

7.             Kesadaran akan kefanaan kita sebagai manusia. 

Sifat rendah hati dalam diri seseorang tidak datang begitu saja. Namun, harus dibentuk dan juga dari beberapa pengalaman hidup. Setelah menyadari beberapa hal, perlahan sikap rendah hati juga akan tertanam dalam diri seseorang. Tentunya hal ini juga harus diiringi dengan lingkungan yang positif dan suportif. (memet_johan)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMAKNAI PERTOBATAN ; BERUBAH DAN BERBUAH !!

PERTOBATAN MEMBAWA KESELAMATAN

KEBIASAAN BAIK UMAT KATOLIK