HUBUNGAN ANTARA DOSA DAN PENDERITAAN (Dalam Kajian Agama Katolik)
Hampir tiap hari kita melihat, mendengar dan menyaksikan adanya
berbagai bencana, baik yang kita alami sendiri maupun kita baca dan saksikan
dari media cetak maupun elektronik; ada bencana kecelakaan, kebakaran, banjir, dan
lain sebagainya. Akibat dari curah hujan yang cukup tinggi dimana-mana banyak
orang yang menderita karena banjir melanda daerah mereka. Akibatnya apa
saudara? Perjalanan macet, rumah tergenang air, pekerjaan dan kehidupan menjadi
kacau dan terbengkalai. Banyak kerugian yang di derita akibat banjir. Itu hanya
kerugian fisik, belum dilihat kerugian secara phsikis/kejiwaan yang dialami
oleh saudara-saudara kita yang menderita akibat banjir.
Mungkin kita sering berpikir bahwa malapetaka, bencana dan
penderitaan yang datang menimpa manusia adalah akibat dari dosa dan kesalahan
yang dilakukan oleh manusia. Malapetaka adalah siksaan dari Tuhan karena
dosa-dosa dan salah yang telah kita perbuat. Sering kita mengeluh; ”Ya Tuhan, apa dosa kami, apa salah kami,
sehingga bencana yang tragis ini menimpa kami !!”. Demikian pula pikiran
orang-orang di zaman Yesus.
Injil
Lukas 13:1-9 : ”Pada waktu itu datanglah kepada Yesus
beberapa orang pembawa kabar tentang orang-orang Galilea, yang darahnya
dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan. Yesus
menjawab mereka: ”Sangkamu orang-orang
Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain,
karena mereka mengalami nasib itu? Tidak ! kataKu kepadamu. Tetapi jikalau kamu
tidak bertobat, kamu semua akan binasaatas cara demikian. Atau sangkamu
kedelapan belas orang yang mati ditimpa menara dekat Siloa, lebih besar
kesalahannya dari pada kesalahan semua orang lain yang diam di Yerusalem ?
Tidak, kataKu kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan
binasa atas cara demikian. Lalu Yesus
mengatakan perumpamaan ini: ”Seorang mempuynyai pohon ara yang tumbuh di kebun
anggurnya, dan ia datang untuk mencari buah pada pohon itu, tetapi ia tidak
menemukannnya. Lalu ia berkata kepada pengurus kebun anggur itu; sudah tiga
tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya.
Tebanglah pohon ini !! Untuk apa ia hidup di
tanah ini dengan percuma ! Jawab orang itu; Tuan, biarkanlah ia tumbuh
tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya,
mungkin tahun depan ia berbuah, jika tidak tebanglah dia.”
Dalam Injil tadi diceritakan
tentang beberapa orang yang datang kepada Yesus dan memberitahukan tentang
orang-orang Galilea yang diantai oleh Pilatus dan tentang kedelapan orang yang
telah meninggal karena ditimpa menara siloam. Jelas menreka menceritakan kedua
peristiwa itu kepada Yesus dengan nada mencela orang-orang yang telah menjadi
korban itu. Mereka berfikir bahwa orang yang mendapat malapetaka itu sudah
menerima siksanya karena dosa-dosa mereka. Tetapi rupanya Yesus tidak setuju
!!, Yesus berkata bahwa kedua bencana itu bukanlah semata-mata sebagai hukuman
atas dosa-dosa mereka, tetapi tetapi terutama sebagai peringatan kepada siapa
saja bahwa hidup itu tidak abadi. Maka manusia harus mempergunakan waktu
hidupnya sebaik-baiknya. Karena hidup manusia memang tidak pasti, hidup manusia
ini nisbi. Siapa yang dapat memberi kepastian tentang hidup kita? Peristiwa bencana itu bisa menjadi
peringatan bagi kita semua bahwa hidup ini nisbi, tidak kekal. Bahwa semua yang
di dunia ini tidak abadi. Bahwa hidup kita bisa tiba-tiba tamat. Bahwa rumah
kita, kota kita bisa tiba-tiba menjadi lautan api, dilanda banjir atau diterpa
badai...!!! Hidup dan apa saja yang kita miliki sungguh nisbi. Maka sekali
lagi, kita hendaknya mempergunakan waktu hidup kita sebaik-baiknya.
Menurut Tuhan Yesus bencana yang diderita manusia,
seperti yang dialami oleh orang-orang Galilea yang dibantai oleh Pilatus dan
kedelapan orang Yahudi yang tertimpa menara Siloam itu, sebenarnya bukanlah
sesuatu yang luar biasa. Semua orang toh akhirnya akan mati dengan salah satu
cara. Yang luar biasa ialah bahwa kenyataan bahwa kita saat ini masih hidup,
walaupun mungkin kita tidak mempergunakan waktu hidup ini dengan sebaik baiknya.
Allah masih memberikan peluang, Tuhan masih bisa bersabar dengan kita walaupun
kita belum menghasilkan apa-apa seperti pohon ara yang diceritakan dalam Injil tadi.
Pohon ara yang tidak berbuah itu mungkin saja kita. Mungkin saja kita tidak
pernah dengan sungguh mempergunakan hidup kita dengan baik, sehingga tidak
terlalu banyak menghasilkan buah-buah kebaikan. Tetapi mungkin saja Tuhan akan
tetap bersabar dengan kita, tahun demi tahun sambil tiap kali memperingatkan
kita lewat bencana-bencana yang terjadi di sekitar kita. Bencana tidak selalu ada hubungannya dengan dosa dan
siksa dari Tuhan. Yang jelas semua itu merupakan cambuk dan tantangan untuk
menguji dan membersihkan hidup kita. Membangkitkan rasa tobat dan berbenah
diri. Kita harus menerima tantangan itu dan menghasilkan rahmat. Kita hendaknya
senantiasa membuat hidup kita semakin berbuah dan bermakna. Tuhan akan tetap
bersabar dan memberi kita peluang. Kesabaran Tuhan adalah suatu keajaiban. Tuan
kebun anggur itu akan selalu bersabar.
Ada satu kisah menarik begini :
Diceritakan
bahwa ada seorang pertapa suci sangat marah kepada seorang pemuda yang selalu
membuat gaduh di sekitar tempat pertapaannya. Kepada pemuda itu sang pertapa
dengan keras berkata ”saya akan berdoa supaya Tuhan mengutuk engkau !! Semoga kamu
disambar geledek!!” Tetapi pemuda yang kurang ajar itu menjawab; ”tidak
mungkin, Tuhan itu maha rahim”. Putus asa, pertapa itu pulang ke rumahnya
dengan tangan hampa tanpa hasil. Namun sikap pemuda itu semakin kurang ajar. Ia
membuat banyak keributan, kejahatan di sekitar itu. Semua orang membencinya.
Sang pertapa itu merasa ia harus turun tangan lagi. Ketika ia sedang berjalan
untuk menemui pemuda itu, tiba-tiba ia mendengar sura yang berkata kepadanya:
”Awas, jangan sentuh pemuda itu, ia pemuda kesayangan-Ku !!” Sang pertapa itu
menjadi bingung. Waktu ia bertemu dengan pemuda itu, ia tidak tahun apa yang
harus ia katakan.
Pemuda
itu bertanya; ”Mengapa engkau datang lagi?”sang pertapa menjawab; ”saya sebenarnya datang untuk mengusirmu,
tetapi di tengah jalan saya mendengar suara Tuhan berkata kepadaku: Jangan
mengganggu pemuda kesayanganku itu”.
Mendengar
itu, wajah pemuda begajulan itu tiba-tiba berubah dan ia bergumam : ”Benarkah
Tuhan menyebut aku pemuda kesayanganNya?” sang pertapa tidak menjawab, ia pergi
meninggalkan pemuda itu.
Beberapa
tahun kemudian sang pertapa berjumpa lagi dengan pemuda itu di suatu tempat
pertapaan. Pemuda itu sudah menjadi pertapa. Sang pertapa bertanya kepada
pemuda itu: ”Apa yang engkau lakukan di sini?”Pemuda yang sudah menjadi pertapa
itu menjawab: ”untuk mencari Dia yang mengatakan bahwa aku adalah pemuda
kesayanganNya !!!
Kesabaran Allah telah membuat
pemuda itu menghasilkan buah kehidupan yang baik. Bagaimana dengan kita????
Tuhan adalah tuan kebun anggur yang penyabar itu, walaupun dari tahun ke tahun
mungkin kita tidak selalu menghasilkan buah. Tetapi bisa jadi bahwa Ia akan
bersabar sampai tahun depan, seperti kisah Injil tadi. Mungkin tahun depan Ia
akan sungguh menebasnya, kalau tidak berbuah !!! siapa yang tahu .........!!!!
Agar kita dapat berbuah, bahkan berbuah secara
melimpah dalam kehidupan ini, apa yang harus kita perbuat? Salah satu kunci
agar kita terhindar dari bencana dan malapetaka yang saya ceritakan di atas
adalah dengan menjaga keseimbangan
lingkungan. Aspek ini seringkali dilupakan, padahal sebenarnya aspek ini
sangat relevan dengan isu lingkungan hidup yang semakin kritis. Kita harus memiliki
komitmen dan kesadaran membangun solidaritas ekologis. Berbagai keprihatinan
ekologis sudah terjadi dan itu sangat membahayakan kelestarian alam dan
manusia, terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global akibat berbagai jenis
emisi gas yang merusak lapisan ozon. Bumi dan manusia dihadapkan petaka akibat
perusakan tanah subur, sumber daya alam dirusak dengan dalih pelestarian alam,
tetapi justru banyak terjadi pembalakan liar dan pengurasan modal ekologis sehingga
mengancam generasi masa depan. Keseimbangan lingkungan menandakan adanya persahabatan
antara manusia dengan alam. Setiap saat dan waktu merupakan momen untuk merajut
solidaritas antar kita manusia dengan sesama sebagai saudara dan lingkungan/alam
sekitar sebagai co-creator Tuhan di dunia ini. Apabila hubungan ini terjalin
dengan baik, niscaya akan tercipta keharmonisan kehidupan ini. Dalam teologi Katolik
dikenal dengan teologi solidaritas, dimana Putra Allah berkenan menjadi manusia
untuk menyapa manusia dan mau menyelamatkannya. Demikian pula dalam penghayatan
akan hidup keseharian kita ini harus menjadi suatu kesempatan untuk membangun
solidaritas yang baru tersebut dengan perlu ikut menjawab keprihatinan ekologis
dengan membangun aksi ekologis. Kedamaian dan keseimbangan hidup itu baru akan
terwujud apabila ada keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama
dan lingkungan alam sekitarnya. Sebagai manusia beriman kita harus berani
selalu membaharui niat untuk meningkatkan martabat manusia dan mengusahakan
harmoni kehidupan yang mengarah pada terciptanya kedamaian tersebut.
Perumpamaan
tentang Pohon anggur ini sebenarnya mengandung makna simbolis. Pohon ara
berdaun lebat tetapi tidak berbuah adalah gambaran orang-orang yang rajin
mengikuti ibadah formal, tekun menjalankan aturan-aturan keagamaan, tetapi
hidupnya tidak berbuah, tidak membuat keadaan di sekelilingnya menjadi lebih
baik. Kelihatannya saleh, tetapi kesalehannya itu kosong di mata Allah. Sebab
ibadah memang bukan pertama-tama soal menjalankan rangkaian aturan keagamaan,
tetapi juga soal hidup sehari-hari. Dan justru disitulah letak nilai suatu
ibadah.
Para nabi dalam Perjanjian
Lama berulang-ulang mengkritik praktek ibadah umat Israel yang hanya terpaku
pada soal menjalankan aturan lahiriah dan melupakan penerapannya. Praktek
ibadah serupa ternyata juga dilakukan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat
pada jaman Perjanjian Baru. Dengan cerita Tuhan Yesus mengutuk pohon ara ini,
para penulis Injil rupanya juga hendak mengoreksi praktek ibadah tersebut.
Mental
pohon ara yang berdaun lebat tetapi tidak berbuah, sampai saat ini sebenarnya
masih kerap terjadi. Seperti orang-orang yang diluarnya kelihatan rohani sekali,
rajin dan taat melakukan acara dan aturan kegamaan, tetapi praktek hidup
sehari-harinya penuh tipu daya dan kesewenangan. Di mulut senang menyebutkan
nama Tuhan dan mengutip ayat Alkitab, tetapi dalam hati dan pikiran penuh
sumpah serapah. Atau orang-orang yang aktif ke gereja tidak dengan motivasi
karena mau dan terpanggil untuk melayani, tetapi karena semacam kompensasi
psikologi: daripada menganggur atau demi mendapat penagkuan dan perhatian.
Orang-orang seperti ini biasanya suka memaksakan kehendak: pendapatnya tidak
dapat dibantah. Terhadap orang yang tidak setuju mereka akan menjauh bahkan
tidak jarang menganggapnya sebagai musuh. Mereka tidak akan berpikir cara yang
mereka tempuh Kristiani atau tidak, pokoknya keinginannya tercapai. Biasanya
mereka sangat rajin, tetapi kerajinannya itu kosong, karena tidak mendatangkan
sukacita.
Sungguh
sangat bertolak belakang dengan orang-orang yang aktif karena betul-betul mau
melayani dan sebagai ungkapan syukurnya kepada Tuhan. Mereka biasanya tidak
gembar-gembor, karena memang tujuannya bukan untuk mencari nama. Tentu mereka
juga punya pendapat dan keinginan, tetapi mereka akan menempatkan keinginan dan
pendapatnya tersebut dalam kerangka kepentingan orang banyak, bukan kepentingan
diri sendiri. Mereka tidak segan untuk mengalah kalau memang perlu. Mereka
selalu melihat orang-orang di sekelilingnya dengan kacamata positif. Itulah
sebabnya, walau tidak banyak bicara, tetapi kehadiran mereka dapat menjadi
berkat. Seperti lampu terang yang kehangatannya dapat dirasakan lingkungan sekitar.
Ada sukacita yang mereka bawa.
Pertanyaannya,
di posisi mana kita berada: Apakah pelayanan kita, ibadah keagamaan kita
sungguh-sungguh berbuah dalam hidup keseharian kita dan menjadi berkat bagi
orang-orang di sekitar kita? Atau, kita ini tidak lebih seperti pohon ara
berdaun lebat tetapi tidak berbuah: banyak berbuat, banyak melakukan, banyak
mengatakan, tetapi hasilnya kosong. Bukan saja tidak mendatangkan sukacita.
Bukan saja tidak mendatangkan sukacita bagi lingkungan sekitar, tetapi juga tidak
membangun hal-hal yang baik buat diri sendiri. Kalau ternyata selama ini kita
telah berlaku seperti pohon ara yang berdaun lebat tetapi tidak berbuah, maka
celakalah kita. Tetapi rasanya belum terlambat untuk kita kembali ke jalan yang
benar yaitu untuk Tinggal dalam Kristus dan berbuah banyak. (memet_johan)
Komentar
Posting Komentar