ARTI DAN MAKNA GEREJA
1. Asal Usul dan Arti Katanya
Kata
“Gereja” yang berasal dari kata igreja dibawa ke Indonesia oleh para
misionaris Portugis. Kata tersebut adalah ejaan Potugis untuk kata lain ecclesia, yang ternyata berasal dari
bahasa Yunani, ekklesia. Kata Yunani
itu sebetulnya berarti “kumpulan” atau
‘pertemuan’, ‘rapat’. Namun Gereja atau ekklesia
bukan sembarang kumpulan, melainkan kelompok orang yang sangat khusus. Untuk
menonjolkan kekhususan itu dipakailah kata asing itu. Kadang-kadang dipakai
kata “jemaat” atau “umat”. Itu tepat juga. Tetapi perlu diingat bahwa jemaat
ini sangat istimewa. Maka barangkali lebih baik memakai kata “Gereja” saja,
yakni ekklesia. Kata Yunani itu
berasal dari kata yang berarti ‘memanggil’.
Gereja adalah umat yang dipanggil Tuhan. Itulah arti sesungguhnya kata
“Gereja”.
2. Pengertian Gereja dalam Kitab Suci dan Ajaran Gereja
Kata “Gereja” bukanlah
semacam batasan atau difinisi. Ekklesia adalah kata yang biasa saja pada zaman
para rasul. Dari cara memakainya, kelihatan bagaimana jemaat perdana memahami
diri dan merumuskan karya keselamatan Tuhan di antara mereka. Kadang-kadang
mereka berkata “Gereja Allah” atau juga “jemaat Allah” (lih. 1Kor 10:32; 11:22; 15:9; dst),
yang kiranya sesuai dengan cara berbicara orang Yahudi (lih. Ul 23:1.2; Hak 20:2; dst). Maksud sebutan itu dapat menjadi
jelas dari 1 Kor 11:17-22. Di situ Paulus berbicara mengenai jemaat yang
berkumpul untuk perayaan Ekaristi.. Mereka menjadi “jemaat” atau “Gereja”
karena iman mereka akan Yesus Kristus, khususnya akan wafat dan
kebangkitan-Nya. Gereja adalah “jemaat Allah yang dikuduskan dalam Kristus
Yesus” (1Kor 1:2). Maka sebetulnya ada tiga “nama” yang dipakai untuk Gereja
dan Perjanjian Baru: “Umat Allah”, “Tubuh Kristus”, dan “bait Roh Kudus”. Ketiga-tiganya
berkaitan satu sama lain.
a. Gereja : Umat Allah
Kata Umat Allah merupakan istilah dari
Perjanjan Lama (dalam Perjanjian Baru dipakai terutama dalam kutipan dari PL).
Yang paling menonjol dalam sebutan ini ialah bahwa Gereja itu umat terpilih
Allah (lih. 1Ptr 2:9). Oleh Konsili
Vatikan II (LG 9) sebutan “Umat Allah” amat dipentingkan, khususnya untuk
menekankan bahwa Gereja bukanlah pertama-tama suatu organisasi manusiawi
melainkan perwujudan karya Allah yang konkret. Tekanan ada pada pilihan dan
kasih Allah . Sebelum berbicara mengenai kelompok atau “tingkat” di dalam
Gereja, perlu disadari lebih dahulu bahwa Gereja adalah kelompok dinamis, yang
keluar dari sejarah Allah dengan manusia.
Memang
kata “umat Allah” sedikit “ kabur”, tetapi kata ini dipakai agar Gereja tidak
dilihat secara yuridis dan organisatoris melulu. Gereja muncul dan tumbuh dari
sejarah keselamatan, yang sudah dimulai dengan panggilan Abraham. Dengan
demikian Konsili juga mau menekankan bahwa Gereja “mengalami dirinya sungguh
erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya” (GS 1). Sekaligus jelas
pula bahwa Gereja itu majemuk: “Dari
bangsa Yahudi maupun kaum kafir Allah memanggil suatu bangsa, yang bersatu padu
bukan menurut daging, melainkan dalam Roh” (LG 9). Konsili Vatikan II melihat
Gereja dalam rangka sejarah keselamatan, tetapi tidak berarti bahwa Gereja
hanyalah lanjutan bangsa
Dalam
Perjanjian Lama Tuhan bersabda, “Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan
firman-Ku sendiri dari antara segala bangsa” (Kel 19:5). Hubungan ini sering
dirumuskan secara singkat oleh para nabi begini: “Aku akan menjadi Allah mereka
dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Yer 7:23; 1:4; 24:7; 30:22; 31:1,33; 32:38; lih. Juga Yes 51:15-16’ Yeh 37:27; Bar
2:35). Kata-kata itu diulangi lagi dalam Perjanjian Baru, “Kita adalah bait
dari Allah yang hidup, menurut firma Allah ini:
Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah
mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku”
(2Kor 6:16; lih. Ibr 8:10; Why 21:3).
Menurut kesadaran Perjanjian Baru, hal itu justru terlaksana dalam Kristus. Dia
adalah “Imanuael, yang berarti: Allah beserta kita” (Mat 1:23), “sebab dalam
Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allah-an” (kol 2:9).
Yohanes menjelaskan hal itu lebih lanjut: “Demikianlah kita ketahui, bahwa kita
di dalam Allah dan Allah di dalam kita: kita telah diperbolehkan mengambil
bagian dalam Roh-Nya” (Yoh 4:13).
Dari pengalaman Roh, kita mengetahui bahwa Allah ada di dalam
diri kita. Sejarah keselamatan, yang dimulai dengan panggilan Abraham, berjalan
terus dan mencapai puncaknya dalam wafat dan kebangkian Kristus serta
pengutusan Roh Kudus. Maka Gereja bukan hanya lanjutan umat Allah yang lama,
tetapi terutama kepenuhannya, karena sejarah keselamatan Allah berjalan terus
dan Allah memberikan diri dengan semakin sempurna (bdk. 1Kor 15:28). Oleh karena itu, dengan sebutan “umat Allah”
belum terungkap seluruh kekayaan hidup rohani Gereja.
b. Gereja: Tubuh Kristus
Sebutan yang lebih khas Kristiani adalah Tubuh Kristus. Paulus menjelaskan maksud kiasan itu :
“Sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak – segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh – demikian pula Kristus. Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi maupun orang Yunani, baik budak maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh” (1Kor 12:12-13).
Dengan gambaran “tubuh”, Paulus mau mengungkapkan kesatuan
jemaat, kendatipun ada aneka karunia dan pelayanan (lih. Ay.7). Gereja itu satu. Ia menegaskan, bahwa mata kita dapat
berkata kepada tangan: Aku tidak membutuhkan engkau. Dan kepala tidak
membutuhkan engkau” (ay. 21). Sebab “tubuh tidak terdiri dari satu angka,
tetapi atas banyak anggota” (ay. 14). Maka ditarik
kesimpulan: “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan masing-masing adalah
anggotanya” (ay. 27). Hal yang sama dikatakan dalam surat kepada umat di Roma
(12:4-5).
Tetapi dalam
surat kepada umat Kolose dan efesus gagasan ini dikembangkan lebih lanjut.
Dalam Ef 1:23 dikatakan bahwa “jemaat adalah tubuh Kristus, yaitu kepenuhan
Dia, yang memenuhi semua segala sesuatu” (bdk.
Kol 1:18.24). Di sini yang dimaksudkan bukanlah kesatuan antara para anggota
jemaat, melainkan kesatuan jemaat dengan Kristus. Oleh karena itu Kristus juga
disebut “kepala Gereja” (lih. Ef
1:22; 4:15; 5:23; Kol 1:18).Hal itu jelas dari Ef 4:16:
“Kristus adalah Kepala. Dari pada-Nyalah
seluruh tubuh – yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua
bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota – menerima
pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih”.
Dari satu pihak dipertahankan gagasan Paulus mengenai
kesatuan dalam jemaat yang “diikat menjadi satu oleh pelayanan semua
bagiannya”. Tetapi dari pihak lain dengan jelas dikatakan bahwa jemaat itu
“menerima pertumbuhannya”. Dari Kristus, yang adalah Kepala. Di sini pun masih
dipergunakan bahasa kiasan, tetapi bukan sebagai perbandingan saja. Dengan gambaran tubuh mau dinyatakan kesatuan hidup antara
Gereja dan Kristus. Gereja hidup dari Kristus, dan dipenuhi oleh daya ilahi-Nya
(lih. Kol 2:10).
Perlu
diperhatikan bahwa teks-teks Kitab Suci mengenai Tubuh Kristus berbicara mengenai
Kristus yang mulia. Tuhan yang mulia “:dengan mengkaruniakan Roh-Nya secara
gaib membentuk orang beriman menjadi Tubuh-Nya” (LG 6). “Dialah damai-sejahtera
kita” (Ef 2:14), Dia yang dalam Injil Yohanes telah bersabda: “Apabila Aku
ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku” (yoh
12:32).
Dalam arti
sesungguhnya proses pembentukan Tubuh baru mulai dengan peninggian Yesus, yakni
dengan wafat dan kebangkitan-Nya. Tetapi itu tidak berarti bahwa sabda dan
karya Yesus sebelumnya tidak ada sangkut- pautnya dengan pembentukan Gereja.
Memang tidak dapat ditentukan suatu hari atau tanggal Yesus mendirikan Gereja.
Tidak ada “Hari Proklamasi Gereja”. Gereja berakar dalam seluruh sejarah
keselamatan Tuhan, dan terbentuk secara bertahap. Dalam proses pembentukan itu
wafat dan kebangkitan Kristus, beserta pengutusan Roh Kudus, merupakan
peristiwa-peristiwa paling menentukan. Sebelumnya sudah ada kejadian yang amat
berarti, misalnya panggilan kedua belas rasul dan pengangkatan Petrus menjadi
pemimpin mereka. Peristiwa terakhir itu dalam Injil Matius dihubungkan secara
khusus dengan pembentukan Gereja: “Engkaulah Petrus dan di atas batu karang ini
Aku akan mendirikan Gereja-Ku “(Mat 16:18). Namun banyak orang berpendapat
bahwa sabda Yesus ini pun tidak berasal dari situasi sebelum kebangkitan-Nya.
Kendatipun penugasan Petrus dikaitkan secara langsung dengan Gereja, yang sesungguhnya dibicarakan bukanlah Gereja melainkan Petrus dan peranannya. Maka akhirnya memang tidak ada satu peristiwa atau kisah pun yang secara khusus menceritakan bagaimana Yesus mendirikan Gereja. Gereja berkembang dalam sejarah keselamatan Allah. Oleh karena itu Gereja sekarang masih tetap pada perjalanan menuju kepenuhan rencana Allah itu. Gereja bukan tujuan, melainkan sarana dan jalan yang mengarah kepada tujuan itu.
c. Gereja: Bait Roh Kudus
Pertama-tama harus dikatakan bahwa sabda Yesus ini hanya terdapat dalam Injil Matius saja. Dan pada umumnya diterima bahwa Matius menggabungkannya pada teks yang sudah terdapat pada Markus. Kemungkinan besar Markuspun dengan sengaja menempatkan pengakuan Petrus ini (Mrk 8:29=Mat 16:16) di tengah-tengah Injilnya. Dengan demikian pengakuan iman akan Yesus dikembangkan secara bertahap: Petrus dahulu (8:29), “Engkau adalah Mesias”, dan kemudian kepala pasukan di bawah salib (15:39), “sungguh, orang ini adalah Anak Allah”. Cukup mengherankan bahwa sesudah pengakuan Petrus yang begitu jelas, di kemudian hari para rasul, termasuk Petrus sendiri, masih begitu bingung dan seolah-olah sama sekali tidak mengetahui siapa Yesus sebenarnya. Mungkin hal itu mau ditutup oleh Markus dengan larangan Yesus “supaya jangan memberitahukan kepada siapapun tentang Dia” (Mrk 8:30). Tetapi larangan ini juga mengherankan, bahkan membingungkan. Sebab baru saja Yesus bertanya kepada mereka “Siapakah Aku ini?” Seandainya Yesus tidak mau dikenal orang, mengapa Ia bertanya mengenai diri-Nya? Mungkin semua ini rumusan Markus yang memindahkan pengakuan Petrus dari situasi sesudah kebangkitan ke dalam peristiwa Kaisarea Filipi.
Gambaran Gereja yang paling penting barangkali Gereja sebagai
Bait Roh Kudus. Paulus berkata:
“Tidak tahukah kamu bahwa kamu adalah Bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di
dalam kamu?” (1Kor 3:16; lih. 2Kor
6:16; Ef 2:21). Bait Allah adalah tempat pertemuan dengan Allah, dan menurut
ajaran Perjanjian Baru itu adalah Kristus (lih.
Yoh @:21; Rm 3:25). “Karena oleh Dia, dalam satu Roh, kita beroleh jalan masuk
kepada Bapa” (Ef 2:18; lih. 3:12). Di
dalam Gereja orang diajak mengambil bagian dalam kehidupan Allah Tri tunggal
sendiri. Gereja itu Bait Allah bukan secara statis, melainkan dengan
berpartisipasi dalam dinamika kehidupan Allah sendiri. Maka Konsili Vatikan II
juga mendorong umat beriman agar dengan perayaan liturgi setiap hari membangun
diri “menjadi bait suci dalam Tuhan, menjadi kediaman Allah dalam Roh, sampai
mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus” (SC 2).
Gereja itu Bait Allah yang hidup dan berkembang. Gereja “dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi,
dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh
bangunan, rapi tersusun, menjadi Bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di
dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam
Roh” (Ef 2:20-22). Jelas sekali bahwa semua gambaran tidak cukup untuk
merumuskan jati diri Gereja dengan tepat. Namun “melalui pelbagai gambaran”kita
berusaha”menangkap makna Gereja yang mendalam”(LG 6). Oleh karena itu Gereja
tidak hanya memakai gambaran yang diambil dari Kitab Suci. Usaha memahami makna
Gereja yang terdalam dijalankan terus. Khususnya oleh Konsili Vatrikan II
Gereja dimengerti dengan gambaran yang lain, yakni sebagai misteri, sakramen
dan communio.
d. Gereja: Misteri dan Sakramen
Dalam
masa yang lampau, khususnya oleh Konsili Vatikan I dan juga masih dalam
ensiklik Paus Pius XII, Mystici Corporis (1943), Gereja dilihat terutama
sebagai organisasi dan lembaga yang didirikan oleh Kristus. Di dalam pandangan
itu diberikan tempat yang amat penting kepada hierarki, paus, uskup dan imam, sebagai pengganti Kristus yang
harus meneruskan tugas-Nya di dunia ini. Konsili Vatikan II tidak mau
menonjolkan segi institusional Gereja ini, khususnya dalam konstitusi Lumen Gentium, lebih menonjolkanm misteri Gereja, sebagai tempat pertemuan
antara Allah dan manusia. Kata “misteri”
ini tidak bisa dilepaskan dari kata “sakramen”. Dan kedua kata ini
bersama menunjukkan inti-pokok kehidupan Gereja.
Kata “misteri” berasal dari bahasa
Yunani mysterion, dan sebetulnya
sulit diterjemahkan, sebab dalam Perjanjian Lama berbahasa Yunani (Scptuaginta) kata itu dipakai sebagai
terjemahan untuk kata yang berbeda, yakni kata Ibrani sod dan kata Aram raz.
Yang pertama berarti ‘dewan penasehat Tuhan’ (Yer 23:18; lih. Juga Ayb 15:8) yang mengungkapkan “keakraban Tuhan bagi yang takut kepada-Nya” (Mzm 25:14). Maka kata
“misteri” tidak pertama-tama berarti sesuatu yang tersembunyi, melainkan suatu
rahasia yang dibuka bagi sahabat karib. Sama halnya dengan kata
Maka dalam Kitab Suci kata itu
dipakai untuk hal-hal yang hanya diketahui oleh Allah sendiri (lih. Keb 2:22). Tetapi Tuhan “tidak akan menyembunyikan
rahasia-rahasia itu bagimu” (Keb 6:22; lih. Sir 4:18). Inti pokok kata
“misteri” dalam Kitab Suci ialah rencana Allah yang diwahyukan kepada manusia.
Tekanan tidak ada pada ketersembunyian, melainkan pada pewahyuan. Hanyalah
perlu disadari bahwa Tuhan memberikan pewahyuan-Nya kepada orang terpilih,
kepada sahabat karib.
Sebetulnya kata Yunani mysterion
sama dengan kata Latin sacramentum.
Dalam Kitab Suci kedua-duanya dipakai untuk rencana keselamatan Allah yang
disingkapkan kepada manusia. Sebetulnya kedua kata itu sama artinya, hanya lain
bahasanya. Tetapi dalam perkembangan
teologi kata “misteri” dipakai terutama untuk menunjuk pada segi ilahi (dan tersembunyi) rencana dan
karya Allah, sedangkan kata “sakramen” lebih menunjuk pada aspek insani (dan tampak). Maka ke dua kata
itu, yang sebetulnya sama artinya, dalam praktik menonjolkan aspek-aspek lain.
Gereja disebut “misteri” karena hidup ilahinya, yang masih tersembunyi dan
hanya dimengerti dalam iman; tetapi juga disebut “sakramen”, karena misteri
Allah itu justru menjadi tampak di dalam Gereja. Oleh karena itu misteri dan
sakramen kait-mengait: kalau misteri tidak sedikit tampak (dan menjadi
sakramen), maka tidak diketahui bahwa ada misteri; tetapi kalau sakramen sudah
seluruhnya terang-benderang, bukan tanda kenyataan ilahi (“misteri”) lagi. Maka
dengan tepat Konsili Vatikan II berkata, “Gereja adalah – adalah – dalam
Kristus – bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat
manusia” (LG 1).
Gereja itu misteri dan sakramen sekaligus. “Adapun serikat
yang dilengkapi dengan jabatan hierarkis dan Tubuh mistik Kristus, kelompok
yang tampak dan persekutuan rohani, Gereja di dunia dan Gereja yang diperkaya
dengan karunia-karunia surgawi, janganlah
dipandang sebagai dua hal;
melainkan semua itu merupakan satu kenyataan yang komplek, dan terwujudkan
karena perpaduan unsur manusiawi dan ilahi” (LG 8). Dari satu pihak Gereja
adalah “kelompok yang tampak”, “dilengkapi dengan jabatan hierarkis’, karena
hidup “di dunia”, ini semua disebut “unsur manusiawi”dan ditunjukkan dengan
kata sakramen. Tetapi sekaligus
Gereja itu bermakna “Ilahi”, karena merupakan “Tubuh mistik Kristus” dan adalah
“persekutuan rohani”, yang diperkaya dengan karunia-karunia surgawi”, itulah
sebabnya disebut misteri. Tetapi
misteri dan sakramen “janganlah dipandang sebagai dua hal”.
Misteri dan sakramen adalah dua aspek dari satu kenyataan,
yang sekaligus ilahi dan insani, yang disebut :Gereja”. Gereja adalah “sakramen
yang kelihatan, yang menandakan kesatuan yang menyelamatkan itu” (LG 9; lih. 48), “sakramen keselamatan bagi
semua orang, yang menampilkan dan sekaligus mewujudkan misteri cinta kasih
Allah terhadap manusia” (GS 45). Gereja tidak hanya menunjuk kepada Allah
sebagai suatu kenyataan di luar dirinya. Karya Allah, oleh Roh, sudah terwujudkan di dalam Gereja. Dari
pihak lain “Geeja baru akan mencapai kepenuhannya dalam kemuliaan di surga”.
Namun “pembaruan, Injil yang didambakan, telah mulai dalam Kristus, digerakkan
dengan perutusan Roh Kudus dan karena Roh itu berlangsung terus di dalam
Gereja” (LG 48).
e. Gereja: Communio
Ajaran Konsili Vatikan II ini ditegaskan kembali oleh sinode
luar-biasa para uskup pada tahun 1985. Para uskup sekaligus mengemukakan suatu
rumus pemahaman Gereja yang baru, yang dilihat sebagai pokok ajaran Vatikan II,
yakni paham communio atau
persekutuan. Kata itu, yang merupakan terjemahan Latin dari kata Yunani koinonia, harus dimengerti dengan
latar belakang Kitab Suci. Sinode mengkhususkan artinya sebagai “hubungan atau
persekutuan (communio) dengan Allah
melalui Yesus Kristus dalam sakramen-sakramen”. Ditonjolkan juga sifat sakramen
dan misteri, namun diartikan secara dinamis sebagai hubungan atau persekutuan.
Sinode menegaskan bahwa paham communio
tidak dapat dimengerti secara organisasi saja. Dari pihak lain, paham communio juga mendasari “komunikasi” di
antara para anggota Gereja sendiri. Oleh karena itu kesatuan communio ini berarti keanekaragaman para
anggotanya dan keanekaragaman dalam cara berkomunikasi, sebab “Roh Kudus, yang
tinggal di hati umat beriman, dan memenuhi serta membimbing seluruh Gereja,
menciptakan persekutuan umat beriman yang mengagumkan itu. Dialah yang
membagi-bagikan keaneka rahmat dan pelayanan, serta memperkaya Gereja Yesus
Kristus dengan pelbagai anugerah” (UR
2).
Begitu juga
struktur organisatoris Gereja, khususnya kepemimpinan Petrus merupakan “asas
dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap dan kelihatan” (LG 18).
Dalam arti yang sesungguhnya communio
atau persekutuan Gereja adalah hasil karya Roh di dalam umat beriman (lih. LG 4). Itulah sebabnya communio Gereja tidak pernah dapat
diterangkan secara organisatoris atau sosiologis saja. Memang di dalamnya ada
unsur organisatoris dan komunikasi antara manusia, sebagai sifat insani
kehidupan Gereja. Ada dua hal yang perlu diperhatikan secara khusus: komunikasi
di dalam Gereja Katolik antara Gereja
setempat dan Gereja se dunia; serta komunikasi keluar Gereja Katolik, dalam hubungan dengan Gereja-Gereja Kristen
yang lain.
Khususnya
mengenai kedua masalah ini, communio
Geeja-gereja setempat dengan pusat Gereja universal di Roma, serta communio dengan Gereja-ghereja
bukan-Katolik, pada 22 Mei 1992 Konggregasi untuk Ajaran Iman mengirim surat
kepada para uskup Gereja Katolik. Di dalamnya ditegaskan kedua segi communio: hubungan vertikal dengan Allah
dan horizontal antara manusia. Dalam persekutuan yang terakhir perlu
diperhatikan segi institusional-hirarkis. Dengan kata lain, dalam hal communio perlu diingat sifat sakramental
gereja, yang mempersatukan unsur ilahi dengan struktur insani. Menekankan satu
aspek secara berlebih-lebihan akan merugikan aspek yang lain.
Gereja janganlah dilihat dalam dirinya sendiri saja.
Dengan paham communio Gereja juga
dilihat dalam hubungannya dengan orang Kristen yang lain, bahkan dengan seluruh
umat manusia. Gereja tidak tertutup dalam dirinya sendiri. Memang Gereja
mempunyai banyak sifat yang khusus dan tampil sebagai agama Kristen atau bahkan sebagai agama Katolik. Namun kalau Gereja memahami diri dalam kerangka
seluruh keselamatan, juga sebagai agama harus memperhatikan hubungan dengan
kelompok keagamaan yang lain. Sebagai agama Gereja mewujudkan diri secara
historis dalam rangka sosio-kebudayaan tertentu, dan ada bahaya bahwa Gereja
terikat oleh unsur-unsur kebudayaan itu. Oleh karena itu amat penting, dengan communuio dan komunikasi dipertahankan
keterbukaan Gereja terhadap hal-hal yang baru, juga terhadap pemahaman diri
yang baru.
f. Gereja: Persekutuan Para Kudus
Dalam
syahadat pendek Gereja juga disebut “persekutuan para kudus”, communio sanctorum. Ternyata sebutan itu baru pada akhir abad ke 4, di
Gereja Barat dimaksudkan ke dalam syahadat pendek itu. Maksud serta
artinya tidak seluruhnya jelas, sebab
kata Latin communio sanctorum tidak
hanya dapat berarti “persekutuan para kudus”, tetapi juga sebagai “partisipasi
dalam hal-hal yang kudus”. Namun kedua arti ini tidak bertentangan satu sama
lain, sebab partisipasi bersama dalam harta keselamatan (yang disebut “hal-hal
yang kudus”), terutama dalam Ekaristi (lih.
1Kor 10:16), merupakan akar persekutuan antara orang beriman (yaitu “para
kudus” menurut istilah yang lazim dalam Kitab Suci) yang juga dinyatakan dalam
perhatian untuk saudara dalam iman (lih.
Rm 15:26; 2 Kor 8:4; lbr 13:16). Gereja pertama-tama suatu “persekutuan dalam
iman” (Flm 6), “persekutuan dengan Yesus Kristus” (1 Kor 1:9; lih. 1 Yoh 1:3),
“persekutuan Roh” (Flp 2:1; lih. 2
Kor 13:13). Komunikasi iman mengakibatkan suatu persekutuan rohani antara orang
beriman sebagai anggota satu Tubuh Kristus dan membuat mereka menjadi
sehati-sejiwa (lih. 1 Yoh 1:7).
Dengan demikian, “persekutuan para kudus” dapat berarti Gereja segala zaman.
Lebih
khusus lagi dibedakan antara Gereja yang berjuang di dunia ini, Gereja yang
menderita khususnya dalam api pencucian, dan akhirnya Gereja yang mulia dalam
kemuliaan surgawi (misteri ini secara khusus dirayakan oleh Gereja setiap
tanggal 1 dan 2 Nopember). Dengan rumus “persekutuan para kudus” dari semula
mau ditegaskan bahwa kesatuan atau persekutuan di dalam Gereja bukanlah suatu
yang lahiriah atau sosial saja.
Sumber
kesatuan Gereja yang sesungguhnya ialah Roh Kudus, yang mempersatukan semua
oleh rahmat-Nya. Selalu ditekankan bahwa kesatuan lahiriah merupakan dan
mewujudkan kesatuan dalam Roh itu. Kesatuan organisatoris bukanlah penjamin
kehidupan Gereja. Sebaliknya segala komunikasi dan kegiatan Gereja berasal dari
Roh yang menggerakkannya dari dalam. Maka “persekutuan para Kudus” akhirnya
tidak lain daripada rumusan lain bagi Gereja sebagai Umat Allah, Tubuh Kristus
dan Bait Roh Kudus. “Dengan berpegang teguh kepada kebenaran di dalam Roh kasih
kita bertumbuh di dalam segala hal kearah Dia, Kristus, yang adalah Kepala” (Ef
4:15). (memet_johan)
Komentar
Posting Komentar