MEMBANGUN HABITUS BARU HIDUP BERBANGSA

 


Pada jaman Tuhan Yesus hidup di Palestina, kehidupan bangsaNya yaitu bangsa Yahudi sangat eksklusif atau tertutup. Mereka menganggap bangsanya adalah bangsa yang terpilih Allah. Bangsa-bangsa lain dianggap kufur dan najis. Oleh karena itu pergaulan dengan orang yang beragama dan bangsa lain dilarang, kehidupan saat itu sangat terkotak-kotak. Dalam Injil Lukas 7:1-10 diceritakan bagaimana Tuhan Yesus menyembuhkan hamba dari seorang perwira Romawi. Rupanya perwira itu meminta Yesus untuk menyembuhkan hambanya (pembantunya), sementara perwira itu tahu bahwa seorang Yahudi dilarang masuk ke rumah seorang yang bukan Yahudi, takut dinajiskan. Maka ia tahu diri, ketika ia mendengar bahwa Yesus yang adalah seorang Yahudi sedang dalam perjalanan menuju rumahnya, ia menyuruh para sahabatnya untuk menjumpaiNya, supaya Yesus tidak perlu memasuki rumahnya. Perwira merasa bahwa Yesus tidak perlu bersusah-susah melanggar kebiasaan untuk datang kerumahnya. Perwira itu berkata bahwa cukuplah Yesus berkata dari jauh, maka hambanya akan sembuh !!Tuhan Yesus yang menurut kebiasaanNya tidak menghiraukan peraturan yang mengkotak-kotakkan manusia, rupanya menghargai sikap perwira Romawi itu. Ia menyembuhkan hamba perwira itu dari jauh, namun Yesus memuji keyakinan perwira itu. Dengan sangat terkesan Tuhan Yesus berkata: ”Aku berkata kepadamu, iman sebesar ini tidak tidak pernah Aku jumpai, sekalipun diantara orang Israel”. Ternyata iman seorang kufur bisa jauh lebih unggul dari pada iman yang orang-orang yang menganggap dirinya kaum terpilih.

 

Kembali pada pertanyaan di awal tadi, mengapa bagi sebagian warga Negara kita merdeka bukan lagi dimaknai sebagai satu kemerdekaan? Mengapa hidup mereka masih jauh dari cita-cita dan harapannya sebagai orang merdeka ? Satu jawaban yang pasti bahwa Bangsa ini dan rakyatnya masih menganut paham Individualis, baik secara pribadi maupun dalam komunitas. Karena paham egoisme itu maka munculah pengkotakan hidup dalam berbagai segi dan srata.

 

Penginjil Lukas menuliskan kisah ini mungkin antara lain untuk menegur umat kristen awal yang hidup masih terkotak-kotak. Gambaran kisah Injil Lukas tersebut mungkin juga ditujukan kepada kita umat kristiani pada jaman sekarang ini. Tidak dapat dipungkiri pada saat ini kita masih hidup dalam dunia yang terkotak-kotak. Ada kotak suku dan etnis (suku jawa, flores, ambon, cina dls), ada kotak agama (Islam, Katolik, Budha dls), ada kotak strata sosial ekonomi (kaya dan miskin), kotak pendidikan (bodoh dan pintar), kotak strata wilayah daerah (kota dan desa). Dalam wilayah hidup Gerejani juga ada pengkotakan. Ada umat wilayah/lingkungan kota dan stasi - yang nota bene hidup di desa -, ada kotak kaum elitis Gereja yakni para pengurus Dewan Paroki dengan umat awam biasa. Ada juga kotak faktor usia; anak muda (Rekat/mudika) dengan orang-orang tua, dan lain sebagainya.

 

Apapun jenis dan bentuk pengkotakan itu pasti ada efek yang dapat menimbulkan akibat yang paling ringan sampai terparah. Secara luas (makro) kita lihat efek yang ditimbulkan oleh adanya pengkotakan yang terjadi di Poso, Ambon, Sambas, Sampit...dls, semuanya menimbulkan bentrokan dan kerusuhan yang memakan korban tidak hanya harta benda tetapi juga nyawa manusia. Kalau dilihat secara mikro di lingkup Gereja, oleh karena masih adanya pengkotakan dalam kehidupan beragama juga berakibat adanya diskomunikasi yang memiliki efek adanya disharmonisasi bahkan kesenjangan antar strata yang disebutkan di atas.

 

Tuhan Yesus selama hidupNya berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengikis habis sekat-sekat yang memisahkan strata kehidupan ini, walaupun dengan akibat yang cukup fatal sampai menerima resiko menjalani sengsara penyaliban bahkan sampai mengorbankan nilai yang paling esensial dari hidupNya, yakni nyawaNya sendiri di Kayu Salib. Itu semua adalah akibat perjuangan Tuhan Yesus yang mencoba mendobrak keeksklusifan/ketertutupan bangsaNya yang menyebabkan adanya pemisahan dan pengkotakan dalam hidup. Sebagai orang beriman, yang nota bene dituntut untuk selalu mengarahkan segala sisi kehidupan ini pada cara hidup Tuhan Yesus yang menjadi anutan dalam hidup beragama maupun hidup bermasyarakat, seharusnya mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Tuhan Yesus.  Sebab Tuhanlah teladan hidup ini, Dialah perlindungan kita sebagaimana yang diungkapkan dalam pujian berikut ini.

 

            Gereja berziarah di dunia, melintas batas ruang dan waktu, budaya berkembang dan melahirkan budaya yang baru, dan dalam hal itupun gereja menjadi bagian yang tak terpisahkan. Gereja turut berkembang disana sini, gereja mengalami perubahan bukan untuk meninggalkan pokok tugas perutusanya, melainkan agar gereja bisa menjawabi tuntuan dan kebutuhan jamannya. Demikian juga halnya dengan semangat perutusan. Gereja dewasa ini berhadapan denghan bermacam-macam soal. Dalam skala nasional saja dapat dicatat disini tentang keperihatinan-keperihatinan seperti: bencana alam, kemiskinan, penyakit, kekerasan, konflik, politik, narkoba, perdagangan wanita korupsi, pendidikan, pelestarian alam, dan lain sebagainya. Keprihatinan-keprihatinan yang menuntut penyelesaian yang arif bijaksana. Gereja sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas dituntut untuk turut ambil bagian dengan menyumbangkan gagasan, sarana, prasarana, media, dan tenaga. Gereja tidak bisa tinggal diam, bertindak dan berlaku sebagai penonton saja. Dalam kerangka itulah, perutusan gereja di dalam dunia dewasa ini harus dipahami. Oleh sebab itu, gereja dewasa ini telah mengarahkan pandanganya untuk terjun dan terlibat secara total dalam usaha-usaha konkret penyelesaian yang dihadapi oleh anak bangsa ini. Maka usaha-usaha gereja dalam segala bentuknya harus mendapat dukungan yang lebih luas dari umatnya. Apakah sudut pandang ini akan menjadi cara kita memandang perutusan?

 

Semua orang Katolik karena baptisan yang telah diterimanya dipanggil untuk hidup dalam kepenuhan dan kesempurnaan bersama Allah melalui Yesus Kristus, yang pernah merealisasikan kehendak Allah dengan hidup dan wafat di dunia ini. Atas dasar keyakinan ini gaya hidup semua orang Katolik jelas-jelas tidak bercorak fuga mundi (melarikan diri dari dunia), dengan memisahkan diri dari kyalayak ramai, tetapi harus bercorak ”masuk dan terlibat dalam dunia”. Dan memang inilah yang seharusnya menjadi ciri khas kita sebagai orang Kristiani yang sejati, yakni berani dan sanggup meretas sekat-sekat hidup untuk mencapai kepenuhan bersama Allah. Salah satu aspek yang mengikutinya adalah dengan menjalin hubungan dan kesatuan dengan semua orang. Dalam hal menjalin hubungan dan kesatuan tersebut, prinsip utama yang harus dipegang adalah bagaimana cara kita memandang orang lain/sesama. Sesama jangan dipandang sebagai musuh (homo homini lupus) yang siap diterkam dan dimakan setiap saat ada kesempatan, tetapi sesama adalah sebagai saudara (homo socrares homini) dimana manusia adalah hal yang kudus bagi manusia lainnya. Bila cara pandang yang kedua ini ada dalam kehidupan manusia, maka manusia tidak akan tahan melihat sesamanya disia-siakan dan dibiarkan menderita, pada akhirnya out comes atau hasil yang didapat adalah tidak akan adanya pengkotakan dalam hidup ini. Dalam mewujudnyatakan kesatuan umat Kristiani tersebut dapat dijalin dalam dua sisi kehidupan ini yakni dalam :

 

1.    Intern umat kristiani sendiri

Secara intern umat Kristiani baiklah itu dimulai dari lingkungan terdekat dalam hidup ini, yang pertama adalah dalam keluarga, dengan menjalin komunikasi yang efektif dalam keluarga, antara suami dan istri, orang tua dan anak, anak dengan anak. Selanjutnya kebersaman dalam keluarga ini dicerminkan dalam kesatuan dengan sesama umat kristiani dalam lingkup Gereja di lingkungan atau stasinya.

 

2.    Antar umat beragama (hidup bermasyarakat)

Satu hal yang pasti bahwa medan hidup kita ini tidak hanya dalam lingkup orang yang seagama, tetapi secara luas kita selalu berhubungan dengan orang lain yang lintas agama dan budaya. Nilai-nilai iman kristiani (nilai cinta kasih) hendaknya harus mampu ditransformasikan dalam hidup yang lebih luas, dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun kita bergaul sehari-hari.

                                               

            Dengan demikian kebersamaan dan kesatuan kita sebagai umat kristiani dalam Allah melalui Yesus Kristus, teruwujud nyata dalam hidup keseharian ini. Sehingga dengan mantap kita warnai kehidupan bangsa ini dengan nilai kasih dan dengan semangat keterbukaan kita menatap ke depan dengan mewartakan harapan untuk membangun budaya habitus baru bangsa. (memet_johan)


<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-4653743635474321"
     crossorigin="anonymous"></script>

Komentar

  1. Terimakasih, sangat menginspirasi sekali semoga kita dapat selalu menjadi manusia2 yg penuh kasih kepada sesama

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih atas kunjungannya, semoga bermanfaat

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMAKNAI PERTOBATAN ; BERUBAH DAN BERBUAH !!

PERTOBATAN MEMBAWA KESELAMATAN

KEBIASAAN BAIK UMAT KATOLIK