DOSA DAN PENDERITAAN DALAM PANDANGAN KATOLIK
Setiap
agama bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi umatnya. Melalui ajaran
agamanya masing-masing umat berpikir dan berperilaku sebagaimna tuntunan yang
termuat dalam Kitab Suci. Didalamnya ditunjukkan jalan yang harus ditempuh
untuk mencapai kesejahteraan hidup baik
di dunia maupun di akhirat nanti. Bangsa Indonesia adalah masyarakat yang
religius, sehingga segala perbuatan sebelum dilaksanakan selalu dilihat dari
kacamata ajaran agama. Sebelum mereka mengetahui dengan pasti bagaimana
pandangan agama yang dianutnya terhadap kegiatan tersebut, masyarakat masih
enggan untuk mengerjakannya. Pandangan agama terhadap suatu masalah bila
disampaikan oleh pimpinan agama dan tokoh masyarakat dengan bahasa agama, akan
lebih mudah dipahami dan diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia.
Gereja dan umat Katolik Indonesia
sebagai umat Allah yang hidup bersama dengan umat lainnya di bumi persada
Indonesia ini, ingin menjadi Sakramen Penyelamatan bagi seluruh masyarakat.
Artinya umat Katolik harus bisa menjadi tanda dan sekaligus sarana pembebasan
dan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Sesuai
dengan semangat Konsili Vatikan II, Gereja dan Umat Katolik Indonesia ingin
membagi keprihatinan, membagi suka dan duka dengan masyarakat Indonesia
terutama dalam hal menyikapi para penderita.
Gereja dan masyarakat Katolik Indonesia terlibat dan ikut menangani berbagai persoalan sosial yang dialami oleh masyarakat luas, kegiatan tersebut tentunya akan bekerjasama dengan masyarakat umat beragama lainnya, baik secara individu, kelompok atau organisasi, bahu membahu dengan pemerintah untuk memotivasi masyarakat sebagai warga negara berlandaskan motivasi iman Kristiani. Karena iman yang hidup adalam apabila terlibat dalam pengembangan hidup dan mutu masyarakat dimana berada. Penanganan para penderita berarti meletakkan dasar yang sehat bagi pengembangan Sumber Daya Manusia Indonesia yang berkualitas.
DOSA : Penolakan Cinta Tuhan.
Dosa
ada dan bercokol di dalam dunia. Ia laksana wabah yang melanda dunia, meluas
dan menjelma dalam berbagai bentuk. Baca saja di koran setiap hari. Selalu ada
saja pembunuhan, perampokan, pencurian, penodongan, penculikan, pemboman, dan
macam-macam kejahatan lainnya di seantero dunia. Alhasil, hidup terasa sebagai sesuatu yang malang.
Kalaupun orang beruntung mencicipi secercah kebahagiaan, toh ia diganggu dan
dihantui oleh kegelisahan bahwasanya kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Pada
hakekatnya dosa adalah penolakan atas cinta, ketidakmampuan mencintai. Pengalaman
membuktikan bahwa egoisme yang berurat berakar dalam diri membuat
tumpul dan mandul, tak mampu untuk saling mencintai, gagal mengubah
hidup dan pandangan hidup. Sementara itu tak putus-putusnya mendatangkan
bencana dan kerugian bagi sesama dan diri sendiri. Tak salah kalau
dikatakan, turut berperan serta dalam
“Dosa raksasa” seluruh dunia. Yakinlah, tangan-tangan tak bersih, hati tak
cerah telah turut mendatangkan semua kejahatan dan dosa. Dunia seluruhnya akan bertanggungjawab kepada Allah (Rom 3:19).
Pengalaman
di bawah ini kiranya membantu untuk dapat membayangkan kuasa dan pengaruh dosa,
situasi dunia dosa di mana manusia ada dan hidup.”Saya sadar, adalah mustahil bagi seseorang insan manusia untuk selalu
‘baik dan suci’. Lihat saja jika saya memperhatikan kebutuhan sesama dari satu
arah, akibatnya saya melalaikan atau tidak menggubris kebutuhan yang datang
dari arah lain. Di situ saya sadar, saya tak mampu meladeni kebutuhan dari
segala arah. Jika saya menaruh hati pada
sesuatu barang, saya toh terpaksa melalaikan lainnya. Saya melihat jarak yang
lebar yang mungkin dapat dijembatani antara pengetahuan moral (tahu baik dan
buruk) di satu pihak dan hidup praktis seharian di pihak yang lain. Pengetahuan
moral yang idealistis dan muluk-muluk rasanya dihanyutkan dan hancurluluhkan
oleh praktek hidup yang penuh diwarnai dosa, diliputi situasi dosa. Tiada hari
dan bahkan tiada satu jam pun berlangsung tanpa kesalahan. Selalu ada
kesalahan, ini tidak beres, itu berantakan. Ini kurang, itu belum sempurna.
Semua itu menjadi bukti bagiku, aku tidak mampu untuk berbuat baik, apalagi mau
mencapai hasil yang maksimal. Yang baik yang saya impikan, tak dapat saya
kerjakan. Yang buruk yang tidak saya impikan, justru saya kerjakan. Mengapa?
Aku, pusing tujuh kelilin tak mengerti!!! Saya berkarya namun tidak pernah
cukup. Dan apa yang saya kerjakan tak pernah cukup baik. Selalu berakbkir
dengan “kurang”, tak cukup baik, dan lain-lain. Saya tak pernah puas dengan
diriku karena selalu ada kesalahan dan dosa yang nampak dalam karyaku atau
dalam kelalaianku.
Dosa dan kesalahan ada di mana-mana.
Ada di masyarakat negara-negara yang sedang berkembang, juga kalangan yang
sudah maju. Malahan semakin orang maju dalam pelbagai segi kehidupan, semakin
kejam dan keji ia memperlakukan sesamanya. Semakin maju dalam perkembangan
ekonomi, semakin timbul masalah kebobrokan moral. Situasi ini tidak banyak
bedanya dengan apa yang ditulis dalam Kitab Suci; “Tidak seorangpun yang benar, tidak seorangpun yang mengerti dan tidak
seorangpun yang menyembah Allah. Semua orang sudah menjauhkan diri dari Allah,
semuanya telah sesat. Tidak seorangpun berbuat benar, seorangpun tidak!
Tenggorokan mereka, bagaikan kuburan yang terbuka.Tipu daya mengalir dari lidah
mereka, dan bibir mereka menyemburatkan fitnah, seperti bisa ular. Mulut mereka
penuh dengan kutuk dan kecam. Langkah mereka cepat kalau hendak menyiksa dan
membunuh orang. Kehancuran dan kesusahan, ditabur mereka dimana-mana. Mereka
buta terhadap jalan kesejahteraan, dan tidak menghormati Allah”. Sekarang tahu bahwa semnua yang tertulis dalam hukum
agama Yahudi, adalah untuk orang-orang yang berada di bawah pemerintahan hukum
itu. Dengan demikian tidak seorangpun dapat memberikan alasan apa-apa lagi dan
seluruh dunia dapat dituntut oleh Allah” (Roma 3:9-19). Semua orang tahu
dan melihat, bahkan mengalami kenyataan-kenyataan dosa setiap hari. Dari mana
dosa? Asal usulnya? Seringkali lebih
banyak tidak tahu. Kalau seorang bapa dengan kejamnya menghabisi nyawa anaknya,
orang akan berkata “mengapa”? Tega hatinya mengambil nyawa buah hatinya
sendiri. Sampai hati mencabut hidup darah dagingnya sendiri” Sedih memang,
namun itulah kenyataan dosa.
Satu hal yang pasti ialah, dosa berkaitan erat dengan kebebasan manusia. Dosa
menyalahgunakan kebebasan manusia. Atau lebih tepat dikatakan: manusia
menyalahgunakan kebebasan sehingga lahirlah dosa. Kebebasan dan dosa bertumbuh
bersama dalam manusia. Mengapa? Suatu perbuatan dikatakan dosa karena
dilaksanakan dengan dan dalam kebebasan. Tiada dosa tanpa kebebasan. Dalam pada
itu pikiran selalu mandeg apabila mulai
memikirkan awal dan sebab kejahatan itu sendiri yang juga bercokol dalam diri .
Kalau sungguh berdosa, juga tahu bahwa memang telah berbuat begitu, kitalah yang salah.
Namun tak jarang orang yang bersangkutan tak habis pikir, keheran-heranan
bertanya dalam hati, “Bagaimana sampai
saya bertindak demikian jelek? Gila? Ah malu…!” Itulah pertanda bahwa pada
akhirnya manusia tak mengerti secukupnya tentang dosa dan kejahatan itu
sendiri. Dengan demikian asalnya pun tetap tak dimengerti, meski kenyataan dosa
terasa dimana-mana.
Hal kedua; Kejahatan yang ada di mana-mana itu selalu menentang Tuhan dan kehendakNya. Cerita sebagaimana
dituangkan dalam Kitab Kejadian bab 1-9 selalu kembali mencatat dan menggarisbawahi
hal yang sama : “Tidak setianya Israel” ,
selalu ada dosa melawan rencana Allah dalam pelbagai ungkapannya. Sejarah Dosa
berlangsung bergandengan dengan sejarah
umat terpilih. Hal yang sama kemudian ditegaskan lagi dalam Hosea bab I-III yang
melukiskan Isarel sebagai wanita yang tidak setia kepada sang suami, Yahwe.
Israel selalu pulang kembali ke dosa, dosa memuja dewa dewi dan hal itu adalah
juga tanda tak setia kepada Yahwe, Allah mereka. Israel telah menyalahgunakan
kebebasan dan status kepilihannya dan mengkhianati Yahwe Allahnya.
Hal ketiga : Dosa tidak pernah
berupa perbuatan terisolasi. Selalu menyangkut kebersamaan, menyangkut hubungan dengan Tuhan, dengan sesama dan
lingkungan. Hubungan “kebersamaan” digoncangkan
bahkan dihancurkan sama sekali oleh dosa. Terhadap Allah dosa berupa penolakan
atas cintaNya, terhadap sesama dosa mendatangkan rupa-rupa dampak negatif :
menyakitkan, merugikan, mematikan atau membawa skandal. Terhadap lingkungan;
kebersamaan nilai-nilai manusiawi dijungkirbalikkan dengan segala akibatnya,
hingga menipisnya rasa saling mempercayai, menumbuhkan rasa curiga mencurigai,
rasa tak aman dan lain-lian.
Hal keempat, dosa dan situasi yang ditimbulkannya pada dasarnya berasal dari dalam, dari dalam
hati manusia. Dari sana timbul pelbagai ungkapan dosa : “percabulan, pencurian, pembunuhan, zinah, penipuan, fitnah…”(bdk Mrk
7:15-23). Selalu dalam hati kecil
merasa ada “sesuatu yang kurang pada diri ”, bahwa manusia tidak hidup
dalam kasih. Memandang salib Yesus misalnya, hati terkejut sambil bergumam: “Itulah hidup
kasih”, namun lewat beberapa saat tatkala perhatian sudah dialihkan, hati
kembali pada yang jahat. Hati tidak begitu peduli lagi akan cinta Tuhan
melainkan pada apa yang diinginkan saja. Keakraban Tuhan disia-siakan. Semakin menolak Tuhan, semakin
orang buta dan tidak peduli dengan sesamanya. Cepat atau lambat manusia yang
bersangkutan tak mampu menguasai hidup pribadinya. Dengan demikian akan semakin
tak mampu hidup dalam persaudaraan dengan orang lain.
Dosa “kena” setiap orang. Bukan karena diturunkan melalui kelahiran, melainkan hubungan timbal-balik dengan orang lain yang memang hidup dalam situasi dosa. Dosa tidak saja dilakukan oleh Adam tetapi oleh setiap orang, dari setiap zaman, oleh saya dan engkau, oleh semua. Itulah dosa dunia. Dosa-dosa sayapun termasuk di dalamnya dan dosa-dosa anda juga. Dosa ini mencapai klimaknya dalam peristiwa penyaliban Yesus. Inilah kejatuhan manusia yang paling dalam dan radikal yakni membunuh “Sang Baik” satu-satunya dosa mengenyahkan Allah. Setiap orang ambil bagian dengan caranya sendiri, dalam proses penyaliban Yesus. “Yang Jahat” menolak dan mentang “Yang Baik”, dosa menolak cinta. Itulah situasi dunia, itulah situasi dosa.
Penebusan Tuhan
Begitu
jahatnya manusia seakan bertolak belakang dengan “betapa baiknya Tuhan”! Dosa
dari pihak manusia dihadapi oleh Allah dengan penebusan. Tindakan brutal
“tidak” dari manusia dijawab oleh Tuhan dengan “ya” yang tak dapat terselami.
Hujan dosa yang melanda dan menimpa dunia dilawan oleh Allah dengan banjir
rahmat. Seorang penebus datang dan menjadikan kebaikan “lebih ” dari pada dosa
dan kejahatan. Inilah KABAR GEMBIRA yang terkandung di dalam warta Kristus.
Allah
menciptakan manusia, memberinya suatu hidup penuh “pengabdian” hingga tercapai
tujuan penciptaan itu sendiri. Dalam kenyataan, manusia gagal ganti mengabdi
dengan penuh kepatuhan, ia memberontak dan menolak Allah. Hidup manusia
dikuasai oleh egoisme dan hati yang dingin, tak banyak peduli terhadap ser.
Hidup penuh pengabdian yang telah gagal dijalani manusia, justru diterima dan
disandang Yesus. Ia hidup sebagai “Cinta kasih” di tengan dunia manusia yang
tanpa kasih.Tugas semacam itu jelas tidak mudah di tengah dunia yang bobrok
penuh kejatuhan akhlak, Yesus harus tetap tegak. Di dalam situasi
“pemberontakan dan tak patuhnya” umat manusia, Yesus harus tetap setia dan
patuh. Di tengah medan penuh egoisme mausia, Yesus harus menjadi kasih semua.
Semua itu diamalkan Yesus. Namun justru Ia dihukum mati meski mengamalkan semuanya
itu. Itulah klimak kejahatan. Suatu hidup penuh gairah, penuh bertaburan
praktek-praktek cinta kasih berakhir dengan “kegelapan”, ditutup dengan mati.
Semuanya gelap, namun itu juga merupakan klimak kasih, klimak penebus. Yesus
tidak hanya mengajarkan kebijaksanaan bagaimana menangani dosa dan bagaimana
manusia dapat bebas. Yesus justru masuk
menceburkan diri dalam medan dosa dan inti perjuangan melawan dosa/ maut, Ia
dibangkitkan, Ia hidup, Ia memperdamaikan manusia, Ia menebus manusia.
Mengagumkan!!!! Allah dalam diri Yesus Kristus datang, meski manusia
menghukumnya mati. Meski begitu keji dan kerasnya tantangan dari manusia yang
hidup dalam situasi dosa, Allah dalam diri Yesus Kristus tidak mengangkat kaki
meninggalkan manusia. Cinta kasih yang setinggi-tingginya dan sedalam-dalamnya
telah diperlihatkan Yesus dengan wafatNya dalam kepatuhan di tengah
berkecamuknya dosa. CintaNya menyembuhkan, menebus, memulihkan, menyelamatkan
manusia. Dan sejak saat itu kegelapan dan kematian bukanlah akhir yang menentukan
bagi manusia. Di tengah kegelapan dan
kematian, Tuhan tetap di pihak . Dialah yang memberi kehidupan, meski mati
sekalipun.
Dalam
Perjanjian Lama sudah disinyalir nasib itu yang menimpa “Hamba Allah” yang
temukan dalam Deutero Yesaya. Namun nasib terkutuk dan gelap itu justru
akhirnya menjadi sumber kebahagiaan dan pokok kebaikan serta sarana pembebasan
(bdk. Yes 42:1-9;49:1-6;50:4-11;52:13;53:12) “Kami menghina dan menjauhi dia, orang yang penuh sengsara dan biasa
menanggung kesan. Tak seorangpun mau memandang dia, dan pun tidak mengindahkan
dia. Sebenarnya penyakitlah yang ditanggungnya, sengsaralah yang dideritanya,
padahal menyangka penderitaannya itu hukuman Allah baginya. Tetapi Ia dilukai
karena dosa-dosa, dan didera karena kejahatan. Ia dihukum supaya diselamatkan, karena bilur-bilurnya disembuhkan. semua tersesat seperti domba.
Masing-masing mencari jalannya sendiri. Tuhan telah menimpakan kepadanya
kejahatan semua. Tuhan menghendaki bahwa ia menderita dan mnyerahkan diri
sebagai korban penghapus dosa. Maka ia akan penjang umur dan melihat
kerutunannya melalui dia kehendak Tuhan akan terlaksana” (Yes 53:3-6.10).
Ungkapan-ungkapan
dalam Perjanjian Lama yang senada menolong para rasul untuk mempau memahami
wafat Yesus, bahwasanya wafat Yesus memang mendapat tempatnya yang wajar dalam
rencana penyelamatan Allah, wafatNya menebus manusia. Yesus Kristus menebus
manusia dengan mengalahkan kuasa dosa. Manusia dilepaskan dari kegelapan dan
dipindahkan ke dalam kerajaan PuteraNya yang terkasih (bdk Kol 1:13). Siapa
saja yang bersatu dengan Kristus, pemenang atas dosa, kuasa dosa memang tiada
lagi, karena siapa yang ada di dalam Kristyus, ia adalah ciptaan baru (bdk II
Kor 5: 17) Dengan demikian manusia bebas dan penuh kesadaran membina hidupnya sesuai
dengan cita-citanya dan harapan Kristus.
Tuhan
Yesus menebus dan membebaskan manusia dari maut (bdk II Tim 1:10). Pernyataan
Paulus di atas boleh membuat berpikir
bahwa manusia tidak akan mati lagi. Tidak. Justru Paulus menyatakan demikian,
selalu tak aman hidupnya, selalu dibayang-bayangi maut. Ia kerap kali diancam
dan berada dalam bahaya maut (bdk II Kor 11:23). Apakah Paulus berbohong?
Maksudnya, biar manusia mati, namun maut tidak lagi berkuasa. Maut malah
menjadi batu loncatan kepada hidup yang kekal, dimana Allah menantikan.
Intervensi
Allah dalam penebusan tidak menghapus tanggungjawab. Ia menjadikan bebas untuk ikut terlibat dengan cinta yang
miliki dalam memerangi dosa, kejahatan dan kemalangan. Allah tidak menyerahkan
kepada nasib. Dosa dan kemalangan menimpa manusiapun bukanlah kehendak Tuhan.
Kehendak Tuhan ialah agar dengan sekuat
tenaga memerangi dosa dan kemalangan. Adalah kehendak Tuhan agar dunia
ditaklukkan, menjadi tempat yang lebih aman untuk ditempati.
Akan
tetapi Kitab Suci yang sejalan dengan pengalaman berabad-abad mengajar umat
manusia bahwa kemajuan manusia yang merupakan nilai manusia yang besar, akan
membawa serta godaan yang besar pula. Karena bila tata nilai dikacaubalaukan
dan yang jahat dicampuradukkan dengan yang baik, maka tiap orang dan tiap
kelompok hanya memandang kepentingannya sendiri dan bukan kepentingan orang
lain. Hal ini menyebabkan bahwa dunia tidak lagi menjadi kancah persaudaraan
yang sejati, selama kekuasaan manusia yang bertambah sudah mengancam akan memusnahkan
umat manusia itu sendiri.
Sebab seluruh sejarah manusia diterobosi oleh peperangan yang sengit melawan kekuasaan kegelapan. Peperangan ini sudah dimulai sejak awal dunia dan akan berkelanjutan sampai hari terakhir. Karena terlibat di dalam peperangan ini, maka manusia harus berjuang terus menerus agar menganuti yang baik dan dengan usaha yang besar serta dibantu oleh rahmat Allah, manusia dapat mencapai kesatuan didalam dirinya. Oleh sebab itu, sambil mengakui bahwa kemajuan manusia dapat melayani kebahagiaan manusia yang sejati, Gereja Kristus yang mempunyai harapan pada rencana Pencipta, tidak dapat berbuat lain daripada menggemakan seruan Rasul: “Janganlah kamu menyesuaikan dirimu kepada dunia ini” (Rom 12:2), yaitu kepada semangat kefanaan dan kejahatan, yang mengubah usaha manusia, yang diserahkan untuk melayani Allah dan manusia menjadi alat dosa. Maka apabila seorang bertanya, bagaimana malapetaka itu dapat diatasi, maka orang Kristen mengakui, bahwa semua usaha manusia yang karena kesombongan dan cinta diri yang tak teratur tiap hari berada dalam bahaya, harus dimurnikan dan disempurnakan oleh salib dan kebangkitan Kristus. Karena ditebus oleh Kristus dan menjadi ciptaan baru di dalam Roh Kudus, maka manusia dapat dan harus mencintai ciptaan Allah. Karena dari Allah manusia menerimanya dan memandang dan menghormatinya sebagai datang dari tangan Allah. Sambil bersyukur atas itu kepada Pemberi dan sambil menggunakan dan menikmati ciptaan dalam kemiskinan dan kemerdekaan jiwa, manusia mulai memiliki dunia ini benar-benar, yaitu seraya memiliki semua, ia seolah-olah tidak memiliki apapun. “Karena semuanya milik kamu, akan tetapi kami milik Kristus, dan Kristus milik Allah” (1 Kor 3:22-23).
Penderitaan dan Maut
Sesudah
melihat dosa dan penebusan, iman ditantang oleh “lawan iman” yang paling ampuh,
yaitu apa penderitaan dan maut. Kalau ditimpa malapetaka langsung timbul
pertanyaan, mengapa?
Bukan saja mengapa, tetapi mengapa
mesti saya yang ditimpa kemalangan ini? dan kalau memandang sejarah manusia sejak awal, perang
dan siksaan, penyakit dan derita, tangis ratapan dan luka derita, paceklik dan
wabah menjadi ciri khasnya. Bagaimana iman akan Allah yang maha baik itu dapat
dipertahankan dalam lembah derita ini? Nampaknya dilema tidak dapat dielakkan,
atau Allah bisa menghilangkan penderitaaan
manusia, tetapi Allah tidak mau lalu bagaimana dengan kebaikanNya?
Apakah Ia sampai hati membiarkan manusia menderita, bahkan seringkali melampaui
batas kemampuan manusia? Atau Allah mau menghilangkan penderitaan, tetapi tidak
bisa, lalu dimana kekuasaanNya? Apakah Allah tidak mampu? Semuanya tinggal tak
terjawab. Tidak mengherankan, bahwa persoalan : mengapa ada penderitaan,
menjadi alasan bagi banyak orang untuk menyangkal Allah.
Pertanyaan
mendasar, mengapa ada penderitaan? Pertanyaan ini telah menyusahkan pikiran
orang-orang saleh, para bijaksana, para ahli pikir sudah sejak lama. Dapat juga
pertanyaan mendasar itun “diremehkan” saja. Malas tahu! Sengaja tidak
menggubrisnya khususnya apabila bukan penderitaannya sendiri, melainkan
kemalangan orang lain. Tidak perlu bertanya, apa makna penderitaan dan maut,
tak banyak manfaatnya bergumul bagaimana penderitaan itu dapat dihilangkan,
atau sekurang-kurangnya dapat dikurangi.
Salah
juga kalau melemparkan semua kesalahan pada Tuhan. Adalah terlalu mudah
bertindak begitu. Mengatakan bahwa semua penderitaan adalah kehendak Tuhanpun
tidaklah tepat. Herannya, meski tetap tidak terjawab, orang malas terus
bertanya. hatinya menuntut penjelasan yang tuntas. Memang itulah
manusia. Adalah sifatnya untuk bertanya-tanya, untuk mempermasalahkan seputar
realita-realita menyangkut hidup dan ruang geraknya.
Oleh
karena penyataan tentang arti dan mengapa penderitaan selalu tinggal tak
terjawab secara tuntas dan memuaskan, Albert Camus (1913-1960) mengatakan bahwa
yang jauh lebih penting ialah sikap yang tepat untuk menghadapi kenyataan
penderitaan itu. Penderitaan tak dapat ditiadakan. Adalah tugas manusia
mengambil sikap yang tepat untuk menghadapinya. Sikap itu ialah mengadakan
perlawanan sekuat tenaga, meskipun tahu pasti akan berada dipihak yang kalah.
Hal itu tidak boleh mengendurkan sikap dan kesungguhan perlawanan
Beberapa
ciri iman Kristiani berikut kiranya dapat membantu membangun pandangan mengenai
penderitaan dan maut.
1.
Percaya akan Allah yang Esa.
Penghayatan akan Allah yang Esa tidak mengizinkan manusia untuk menerima dua prinsip awal, satu yang baik, lain yang jahat. Tidak ada sebab atau prinsip yang setara dengan Allah. Maka pandangan seperti dianut oleh beberapa agama Parsi atau seperti dilambangkan dalam arti Barong tidak dapat terima.
2. Penderitaan itu salah harus
diberantas
Menerima
penderitaan sebagai takdir dapat memberikan daya tahan mengagumkan, namun
pandangan ini tidak dapat didamaikan dengan penghayatan akan Allah yang
mendampingi hidup. Menerima penderitaan dengan pasrah belum cukup.
Penderitaan sebagai kenyataan yang seharusnya tidak boleh ada dan tidak pantas bagi manusia yang dicintai Tuhan. Segala pandangan yang membuat orang malas melawan penderitaan kurang sesuai dengan iman. Jawaban seperti: terima saja penderitaan itu, nanti ganjaranmu di surga bakal besar; derita itu sementara, kebahagiaan di surga kekal, dan sebagainya, dapat membuat orang begitu pasrah, sehingga menjadi enggan untuk memberantas penderitaan yang dapat dihilangkan.
3.
Dari diri sendiri penderitaan dan maut
hampa arti, makna penderitaan dan maut harus dikurniakan.
Mengapa menderita, mengapa harus mati tidak terjawab dalam jangkauan manusia dan dunia. Yesus sendiri tidak menjelaskan arti penderitaan dan maut, Yesus menanggung derita dan maut sampai habis. Dari salib dan kebangkitan Yesus, muncullah sebuah tawaran yang mengartikan penderitaan dan maut. Sebuat tawaran yang boleh diterima, tetapi juga bisa ditolak.
Salib
merupakan kesimpulan logis dari warta dan perbuatan Yesus. Dilihat dengan mata
manusia Yesus mati konyol dalam kegagalan total, amun Allah membangkitkan Yesus
dari alam maut. Dengan kebangkitan ini “mati
konyol dalam kegelapan total” diberi arti. Dari kebangkitan Yesus dapat
menjadi jelas, bahwa Allah sendiri hadir dalam penderitaan maut, bahwa Allah
tetap bersama Yesus sampai ke dalam maut sekalipun. Dari pengertian penderitaan
dan maut Yesus ini, dapat diduga arti tersembunyi dalam penderitaan dan maut.
Dengan
memandang Yesus yang tersalib, menderita menuju maut akan dapat berharapan baru
bahwa:
a.
dalam kegagalan dan frustasi, dalam
kegelapan dan derita akan dapat berjumpa dengan Allah, karena Dia selala dekat.
b.
Allah turut menderita dan solider
dengan manusia, keberhasilan dan kejayaan belum tentu bermakna bagi Allah.
Kegagalan, kehinaan, derita dan maut dirangkul oleh kasih setia Allah.
Dengan
ini memang terjawab, mengapa harus
menderita dan mati. Akan tetapi ditawari makna penderitaan dan maut, cinta
Allah menanggung didalam penderitaan dan maut.
Dengan
demikian manusia tidak dibebaskan dari penderitaan dan maut. Derita tetap
menjadi unsur hidup ini dan maut pasti akan merenggut nyawa manusia. Namun dapat menerima bahwa derita dan maut bukan
malapetaka yang terbesar. Malapetaka yang terbesar ialah terpisah dari cinta
Allah. Dalam derita sampai maut manusia
boleh berharap: “Sekarang tempat tinggal
Allah adalah bersama-sama dengan manusia. Ia akan menyeka segala air mata dari
pipi mereka. Kendatipun akan tidak ada pula. Semua hal yang lama sudah lenyap”
(Why 21:4).
Dosa
“mewabah” diseantero dunia. Perwujudan dapat bermacam-macam. Di dalam dunia
yang diliputi dosa itu, manusia hidup. Setiap manusia berdosa, mendatangkan
dosa dengan menyalahgunakan kebebasannya.
Namun
kasih Allah jauh lebih daripada dosa manusia. Penyaliban Yesus pada satu pihak
berupa klimaks kejahatan manusia, sebab “si jahat” mengasihi nyawa “Sang Baik”
satu-satunya. Namun penyaliban Yesus juga adalah klimaks kasih Allah kepada
manusia ”Karena begitu besar kasih Allah
akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya
setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang
kekal” (bdk. Yoh 3:16).
Penderitaan dan maut ada dimana-mana, hikmat berikut ini kiranya dapar menjadi permenungan hidup manusia yang memiliki sifat bertanya; dalam derita, kegelapan dan duka manusia bertemu dengan Allah karena Dia dekat. Diapun turut menderita. Tuhan sendirilah yang akan menyapu air mata dukacita. (memetjohan)
Komentar
Posting Komentar