PAHAM YANG MEMBAHAYAKAN HIDUP BERAGAMA



        Pola hidup beragama setiap orang memiliki keberagaman dalam praktek hidup sehari-hari, banyak hal yang bisa mempengaruhi keberagaman tersebut. Ada yang memiliki perkembangan iman yang cukup bagus karena dilatarbelakangi oleh pengetahuan yang cukup tentang apa yang diimaninya, namun perkembangan iman juga dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan usia dan lingkungan hidup sehari-hari. Dalam banyak hal yang ditemui dalam praktek hidup sehari-hari ternyata banyak paham atau kebiasaan yang sangat membahayakan dalam penghayatan hidup beragama. Sebagai insan yang beriman ada tuntutan untuk sebisa mungkin menghindari paham-paham negatif yang kiranya bisa mempengaruhi bahkan merusak perkembangan iman. Berikut ini adalah beberapa paham hal yang bisa membahayakan penghayatan hidup beragama dan jalan keluar bagaimana seharusnya menghindari [aham-paham negatif tersebut.

 

1.     Hedonisme

         Paham ini berpangkal pada pengalaman nikmat yang diperoleh manusia pada saat atau sesudah ia melakukan atau sudah berhasil melakukan sesuatu. Sebagai ciptaan Tuhan yang paling tinggi di muka bumi ini, manusia dibekali dengan perasaan nikmat : Nikmat biologis, nikmat indrawi, nikmat intelektual, nikmat estetis, dll. Berkat kemampuan-kemampuan yang dimiliki, manusia bisa merasakan berbagai macam kenikmatan. Maka kenikmatan sebetulnya adalah kenyataan hidup dari pengalaman manusiawi setiap orang. Dari latar belakang semacam itulah muncul paham hedonisme.

        Secara etimologis, kata hedonisme berasal dari bahasa Yunani, Hedone, yang atinya adalah kenikmatan, kesenangan. Hedonisme sebetulnya berusaha menjawab pertanyaan esensial manusia berkaitan dengan cara yang harus ditempuh manusia untuk mencapai kebahagiaan. Menurut hedonisme, cara manusia mencapai kebahagiaan adalah dengan mencari nikmat dan menghindari hal-hal yang menyakitkan (hal-hal yang tidak nikmat).

        Sebagai aliran, hedonisme mengajarkan bahwa kenikmatan (secara khusus kenikmatan pribadi) adalah nilai hidup tertinggi dan tujuan utama hidup manusia. Hedonisme dibagi menjadi dua, yakni hedonisme psikologis dan hedonisme etis. Hedonisme psikologis mengajarkan bahwa manusia dalam segala tindakannya hanya mencari nikmat dan menghindari hal-hal yang menyakitkan. Sementara hedonisme etis mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, manusia hendaknya mencari nikmat dan menghindari hal-hal yang menyakitkan.

    Dalam kaitannya dengan hidup beragama, hedonisme sangat membahayakan penghayatan hidup beragama manusia. Bahwa tujuan manusia adalah mencapai kebahagiaan (yang merupakan asumsi dasar hedonisme) kiranya bukan merupakan hal yang baru. Dalam pandangan teologis, yang dimaksud kebahagiaan adalah persatuan dengan Allah, yang dimaksud dengan “slamet” (Bhs. Jawa) adalah juga persatuan dengan Allah, karena tujuan manusia pada hakekatnya adalah bersatu dengan Allah. Tentu persatuan dengan Allah yang menjadi tujuan setiap orang beragama ini dalam level horisontalnya tidak terlepas pula dari persatuan dengan sesama.

          Yang menjadi masalah adalah “Bagaimana persatuan dengan Allah itu harus dicapai?” Persatuan dengan Allah jelas tidak bisa dicapai hanya dengan mengejar kenikmatan (seperti yang diajarkan oleh hedonisme). Pengalaman riil manusia dalam usahanya mencapai persatuan dengan Allah tidak melulu berisi dan berupa kenikmatan. Terkadang, dalam usahanya mencapai persatuan dengan Allah, manusia harus rela berkorban, rela menderita, dan bahkan rela mengorbankan nyawanya.

          Dalam praktik hidup sehari-hari penghayatan hidup beragama juga tidak selalu memberi kenikmatan. Yang terjadi biasanya adalah pengorbanan diri, pengendalian diri, mati raga (askese). Untuk beribadat orang harus meluangkan waktu, untuk berdoa pribadi, orang harus menyediakan waktu, untuk menolong sesama, orang harus rela menanggalkan kenikmatan. Hedonisme, bila diikuti terus, justrus akan membawa orang pada kemerosotan penghayatan hidup beragamanya. Maka dari itu, ajaran hedonisme perlu diwaspadai dan sangat tidak memadai untuk diikuti dalam rangka mewujudkan penghayatan hidup beragama setiap orang.


2.     Individualisme

          Paham ini berpangkal pada kesadaran manusia akan dirinya. Manusia menyadari diri bahwa sebagai ciptaan Tuhan yang tertinggi, berkat akal budi dan kehendak bebasnya, ia merupakan ciptaan yang khas, unik, dan tak tergantikan. Dengan latar belakang semacam inilah muncul paham individualisme.

          Secara etimologis, kata individualisme berasal dari bahasa latin, individuus, yang berarti perorangan, pribadi. Menurut individualisme, perorangan memiliki kedudukan utama. Dasarnya adalah keunikan masing-masing individu. Setiap individu adalah pribadi yang unik, otonom, dan berdiri sendiri. Tujuan setiap individu adalah mencapai kepenuhan diri. Untuk mencapai kepenuhan diri ini, setiap individu perlu dijaga dan dilindungi kepentingannya. Dalam hal ini, yang bertugas adalah masyarakat dan negara. Masyarakat dan negara bertugas menjaga dan memberi kemungkinan agar kebebasan dan inisiatif seseorang disemua bidang kehidupan tidak terhambat.

          Sebagai aliran, individualisme mengajarkan bahwa dasar kehidupan adalah pribadi perorangan. Norma dasarnya adalah kepentingan pribadi. Karena mengutamakan pada kepentingan pribadi perorangan, aliran ini memandang masyarakat dan negara hanya menjaga dan memberi kemungkinan agar kebabasan dan inisiatif seseorang disemua bidang kehidupan tidak terhambat.

          Dalam kaitannya dengan penghayatan hidup beragama, individualisme akan membawa persoalan yang sangat besar. Bahwa pribadi manusia itu unik dan berharga, dan kepentingannya perlu dijaga dan dikembangkan, serta kebebasan dan inisiatifnya perlu diberi ruang seluas-luasnya adalah hal yang benar. Tetapi kalau pribadi perorangan dijadikan dasar maka akan muncul berbagai macam persoalan dan kekeliruan.

          Ajaran individualisme akan membawa orang pada pola hidup “sakpenake dewe” (seenaknya sendiri), dan pola hidup semacam ini akan sangat membahayakan penghayatan hidup beragama. Orang tidak lagi memperhatikan norma-norma keagamaan (karena pedoaman utama hidupnya adalah dirinya sendiri) yang mencoba menata kehidupannya agar kehidupan manusia itu selaras dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Lambat laun, agama (beserta dengan norma-normanya yang didasari oleh wahyu dan yang dalam iman ditanggapi oleh manusia) akan pudar dan sama sekali tidak berperanan pada hidup manusia. Bila dibiarkan terus, manusia yang mengikuti aliran individualisme akan kehilangan orientasi hidupnya. Manusia sama sekali tidak menghayati dimensi transendentalnya yang sebetulnya sangat membantu dirinya dalam mengarahkan hidup pada Yang Illahi. Maka dari itu, ajaran individualisme perlu diwaspadai dan sangat tidak memadai untuk diikuti dalam rangka mewujudkan penghayatan hidup beragama setiap orang.

 

3.     Laksisme

          Sikap hidup semacam ini muncul dengan latar belakang ketidakmudahan seseorang dalam menjalani norma-norma yang ada di dalam kehidupan. Menjadi orang yang adil, jujur, bersih dan sebagainya ternyata tidak mudah. Banyak hal yang harus dikorbankan untuk mewujudkan keutamaan-keutamaan itu. Dengan berangkat pada pemahaman semacam itu muncullah paham laksisme.

          Semacam etimologis, kata laksisme berasal dari bahasa latin, laxus, yang berarti longgar, kendor. Laksisme dibagi menjadi dua, yakni laksisme lunak dan laksisme keras. Laksisme lunak berpendirian bahwa prinsip dan norma kehidupan itu ada dan harus dilaksanakan, tetapi cara pelaksanaannya sedapatnya dan semampunya saja. Jadi, laksisme lunak sebetulnya mengakui adanya norma-norma dalam kehidupan ini dan norma-norma itu harus ditaati. Tetapi dalam menaati norma-norma itu, laksisme lunak berusaha mencari jalan untuk meringankan tuntutan dan bebannya. Korupsi memang dilarang, tetapi bolehlah kalau korupsinya itu hanya sedikit : “orang banyak", nyontek itu dilarang, tetapi demi nilai yang lebih baik bolehlah, hubungan seks diluar nikah dilarang, tetapi kalau “suka sama suka” bolehlah, dan seterusnya.

          Sementara itu, laksisme keras juga mengakui adanya norma-norma dalam kehidupan. Paham ini mengakui adanya yang baik dan yang jahat, ia juga tidak keberatan akan adanya sanksi yang diterapkan. Keberatan laksisme adalah belum adanya kesepakatan masyarakat tentang sesuatu yang disebut baik dan jahat.

          Tuntutan laksisme keras adalah adanya kesepakatan masyarakat. Sebagai contoh: menggugurkan kandungan itu adalah suatu yang jahat, tetapi kalau menggugurkan kandungan pada awal kehamilan, menurut laksisme keras, bukan merupakan sesuatu yang jahat. Alasannya adalah masyarakat (para ahli) belum sepakat tentang kapan mulainya manusia (yang tidak boleh dibunuh itu). Dalam bidang lain pun juga demikian.

          Dalam kaitannya dengan penghayatan hidup beragama, laksisme merupakan ajaran hidup yang membahayakan. Laksisme keras yang menuntut adanya kesepakatan dalam hal norma akan membawa orang pada penghayatan hidup beragama yang legalistis. Orang akan dibawa pada pola hidup yang menaati peraturan keagamaan itu hanya demikian peraturannya saja, tanpa melihat nilai lain yang ada dibaliknya. Di samping itu, bila hanya mengandalkan peraturan yang disepakati bersama, orang akan dibawa pada pola hidup yang sempit, karena selalu harus mengandaikan terlebih dahulu adanya peraturan yang disepakati bersama. Sementara itu, laksisme lunak yang mengajarkan pelaksanaan prinsip-prinsip hidup tanpa adanya tuntutan dan pengorbanan akan membawa manusia pada pola hidup yang minimalis. Orang tidak lagi mau berkorban dan menuntut dirinya demi nilai lain yang pasti lebih berharga. Pola hidup minimalis ini bila dibiarkan terus akan membawa orang pada sikap permisivisme (mis : “Bila tidak mampu sholat lima kali dalam sehari, ya sudahlah nggak apa-apa”, “ Bila tidak bisa ke gereja pada hari minggu ini, ya sudahlah nggak apa-apa”, “Bila nggak mampu berpuasa, ya sudahlah nggak apa-apa”, dst). Maka dari itu, ajaran laksisme perlu diwaspadai dan sangat tidak memadai untuk diikuti dalam rangka mewujudkan penghayatan hidup beragama setiap orang

 

4.     Pragmatisme

          Sikap hidup semacam ini lahir dari kesadaran akan ketidak konsistenan dan ketidak konsekuenan manusia dalam kehidupan dan kenyataan riil yang dijalaninya. Misalnya : dalam masyarakat banyak dijumpai orang baik, tetapi kebaikan yang ada itu hanya berhenti pada dirinya sendiri, tidak memiliki daya kreatif dan inovatif bagi lingkungannya; banyak tokoh yang pandai memberi nasehat, tetapi perilakunya tidak sesuai dengan yang diomongkan; semua agama mengajarkan hal-hal yang baik, tetapi mengapa kehidupan ini tidak menjadi baik. Persoalannya kemudian : “Apa gunanya orang baik kalau kebaikannya itu tidak membawa kebaikan bagi sesama? Apa gunanya pandai memberi nasehat (tahu tentang moral, etika, dll) kalau hidupnya sendiri tidak bermoral dan tidak etis? Apa gunanya agama kalau tidak membuat penganutnya menjadi baik?” Dari situasi semacam itulah muncul sikap hidup pragmatis.

          Secara etimologis, pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, pragmatikos, yang berarti : cakap dan berpengalaman dalam urusan hukum, perkara negara dan dagang. Dalam bahasa Inggris, kata “pragmatikos” menjadi “pragmatic” yang berarti “berkaitan dengan hal-hal praktis” atau sejalan dengan aliran filsafat pragmatisme. Berpangkal dari pemahaman semacam itu, arti pragmatisme bisa dua hal, yakni (1) aliran filsafat, (2) sikap manusia dalam hidup yang menghadapi segala macam hal secara praktis (bukan teoritis, ideal; yang penting hasilnya dapat dimanfaatkan).

          Sebagai aliran filsafat, pragmatisme berpendapat bahwa pengetahuan dicari bukan sekedar untuk tahu, melainkan demi masyarakat dan dunia. Pengetahuan dicari demi kebaikan, peningkatan, serta kemajuan masyarakat. Konsekuensi logisnya kemudian, pengetahuan itu dibuktikan bukan hanya secara teoritis, melainkan juga harus dibuktikan berdasarkan pada dapat tidaknya dilaksanakan dan mendatangkan hasil konkrit bagi manusia. Pengetahuan, pemikiran, teori adalah alat dan perencanaan untuk bertindak.

          Sebagai suatu sikap hidup, pragmatisme cenderung mengajarkan sikap hidup yang serba praktis dalam menghadapi berbagai macam persoalan yang dijumpai. Yang penting adalah hasil konkritnya. Yang ditekankan adalah kesederhanaan, kepraktisan, kemudahan, dampak positifnya, dan manfaat.

          Kendati ada beberapa aspek positif yang disumbangkan pragmatisme dalam rangka penghayatan hidup beragama, namun pragmatisme akan menimbulkan berbagai macam goncangan. Alasannya adalah karena mengajak manusia untuk cenderung serba praktis dalam menghadapi berbagai macam persoalan hidup yang dijalani. Yang ditekankan adalah kesederhanaan, kepraktisan, kemudahan, dampak positifnya, dan manfaat. Dampaknya : pragmatisme akan membawa orang pada penghayatan yang sempit akan kebenaran-kebenaran hidup.

          Dalam hidup beragama, seseorang pasti akan berjumpa dengan berbagai macam kebenaran. Tidak semua kebenaran yang dijumpainya itu dapat dilaksanakan, dapat dipraktekkan, dan membawa dampak nyata bagi kehidupan manusia. Sebagai salah satu contoh adalah kebenaran bahwa hidup manusia tergantung pada Allah. Bagaimana kebenaran itu dapat dipraktekkan secara langsung? Padahal, sebagai kebenaran, pernyataan itu tidak terbantahkan. Maka dari itu, ajaran pragmatisme perlu diwaspadai dan sangat tidak memadai untuk diikuti dalam rangka mewujudkan penghayatan hidup beragama setiap orang.

 

5.     Permisivisme

          Berpangkal pada kenyataan hidup konkrit kiranya tampak jelas bahwa hidup manusia ditata dengan peraturan, hukum, dan undang-undang. Walaupun sederhana, setiap orang memiliki pegangan hidup, jadwal hidup, jadwal kerja, dan tata tertib yang ditaati. Setiap keluarga yang normal pasti memiliki pegangan dan pedoman yang dipatuhi bersama. Setiap masyarakat memiliki hukum yang disertai dengan sanksi-sanksi yang jelas dan tegas. Setiap negara memiliki undang-undang dan seperangkat peraturan lain yang bertujuan untuk menata kehidupan negara tersebut.

          Meski setiap orang memiliki kesadaran bahwa hidup manusia ditata dengan peraturan, hukum, dan undang-undang, namun tetap saja ada orang yang hidup, berperilaku, dan bersikap seolah-olah tidak ada peraturan, hukum dan undang-undang. Alasan yang muncul juga bermacam-macam : (1) bisa karena pribadi yang bersangkutan memang tidak tahu adanya hukum dan peraturan yang berlaku, (2) bisa karena pribadi yang bersangkutan memang tidak mampu mengenal dan memahami hukum karena kondisinya yang tidak memungkinkan (mis. Cacat mental), (3) bisa karena pribadi yang bersangkutan mau memberontak terhadap tatanan etis yang ada, (4) bisa karena pribadi yang bersangkutan mau mengubah tatanan yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan tuntutan jaman, dan (5) bisa juga karena pribadi yang bersangkutan hanya sekedar ikut-ikutan. Kondisi semacam itulah yang melatarbelakangi munculnya sikap hidup permisivisme.

          Secara etimologis, permisivisme berasal dari bahasa Inggris, permissive, yang berarti serba membolehkan. Permisivisme adalah pandangan dan sikap yang membolehkan segala-galanya, seolah-olah dalam hidup ini tidak ada peraturan, hukum dan undang-undang. Orang permisif berbuat semaunya. Dalam pergaulan orang model ini berperilaku seolah-olah tidak ada kebiasaan, adat, dan sopan santun. Dalam masyarakat ia bertindak seolah-olah tidak ada peraturan, hukum, dan undang-undang. Semuanya itu dilakukan dengan ringan, tanpa beban dan tanpa takut adanya sanksi. Segala cara hidup, perilaku, dan perbuatan (juga yang termasuk melanggar hukum, norma, dan peraturan) boleh dijalankan.

          Dalam kaitannya dengan penghayatan hidup beragama, ajaran ini akan membawa orang pada pola hidup yang minimalis, semuanya serba boleh (mis : “Bila tidak mampu sholat lima kali dalam sehari, ya sudahlah nggak apa-apa”, “Bila tidak bisa ke gereja pada hari minggu ini, ya sudahlah nggak apa-apa”, “Bila nggak mampu berpuasa, ya sudahlah nggak apa-apa”, dst). Ajaran permisivisme, bila dibiarkan terus akan searah dengan individualisme, yakni membawa orang pada pola hidup "semau gue" dan pola hidup semacam ini akan sangat membahayakan penghayatan hidup beragama. Orang tidak lagi memperhatikan norma-norma yang mencoba menata kehidupannya agar kehidupan manusia itu selaras dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Lambat laun, agama akan pudar dan sama sekali tidak berperanan pada hidup manusia. Bila dibiarkan terus, manusia yang mengikuti aliran permisivisme juga akan kehilangan arah hidupnya. Manusia sama sekali tidak menghayati dimensi transendentalnya yang sebetulnya sangat membantu dirinya dalam mengarahkan hidup pada yang ilahi. Maka dari itu, ajaran permisivisme perlu diwaspadai dan sangat tidak memadai untuk diikuti dalam rangka mewujudkan penghayatan hidup beragama setiap orang.

 

6.     Sekularisme

          Secara etimologis, sekularisme berasal dari bahasa latin, saeculum, yang berarti dunia, alam-semesta, kosmos. Ajaran ini sangat menekankan faktor-faktor duniawi, profan, sebagai keterangan dan sebab terakhir dari alam semesta dan kejadian dalam dunia. Disamping itu, sekularisme juga menekankan hasil otak manusia yang berupa pertimbangan dan ilmu-ilmu modern sebagai pedoman bagi kelakuan dan aktivitas manusia. Konsekuensi praktisnya : Allah tidak dibutuhkan lagi. Keberadaan Allah disangkal, bahkan Ia dipahami telah mati.

          Konsep sekularisme akan membawa orang pada suatu kesombongan manusiawi yang mengandalkan kemampuan akal budinya. Semua yang terjadi dan dialami oleh manusia hanyalah pengalaman manusiawi belaka dan bisa dijelaskan pula dengan cara manusiawi. Kalau terjadi banjir, itu terjadi karena kesalahan manusia yang (misalnya) menebang hutan secara sembarangan, kalau terjadi wabah penyakit, itu terjadi karena kesalahan manusia yang (misalnya) malas menjaga kebersihan lingkungannya, kalau terjadi peperangan, itu terjadi karena kesalahan manusia yang (misalnya) serakah dan ingin menguasai alam semesta ini dengan tanpa memperhitungkan sesamanya, kalau terjadi kejahatan, itu terjadi karena manusia yang (misalnya) iri hati dengan kesuksesan dan keberhasilan sesamanya, dan demikian seterusnya. Semua yang terjadi dan dialami oleh manusia hanyalah pengalaman manusiawi dan bisa dijelaskan pula secara manusiawi.

          Akan tetapi, pandangan ini jelas tidak sesuai dengan pengalaman hidup manusia. Ada pengalaman-pengalaman tertentu yang tidak cukup dan tidak memadai bila dijelaskan hanya secara manusiawi. Misalnya : masalah kelahiran, masalah kematian, masalah keterbatasan manusia, dan sebagainya. Pandangan ini sebetulnya sudah gugur bila dipertemukan dengan pengalaman riil hidup manusia.

          Dalam kaitannya dengan penghayatan hidup beragama, ajaran ini perlu diwaspadai. Dengan kemampuan berfikirnya, manusia bisa menciptakan berbagai macam hal yang membawa kesejahteraan bagi hidupnya : semua persoalan bisa dipecahkan dan bisa diatasi berkat kemampuan yang dimilikinya, semua misteri dan ketidaktahuan bisa terkuak berkat adanya berbagai macam penelitian dan percobaan, dan demikian seterusnya. Akhirnya sikap dan ajaran ini akan mengarahkan manusia pada suatu pemahaman bahwa dirinya dan dunianya merupakan suatu realitas yang otonom yang tidak memiliki keterarahan kepada Tuhan. Konsekuensi logisnya : peranan Allah akan semakin diminimalkan dan akhirnya hilang sama sekali. Keterarahan manusia dan seluruh alam semesta pada Allah yang selama ini dipahami ada menjadi musnah. Maka dari itu, ajaran paham sekularisme perlu diwaspadai dan sangat tidak memadai untuk diikuti dalam rangka mewujudkan penghayatan hidup beragama setiap orang.

 

7.     Ateisme

          Secara etimologis, ateisme berasal dari bahasa Yunani, a yang arinya tidak dan theos yang artinya Tuhan. Artinya adalah tanpa Tuhan secara sederhana, ateisme mengajarkan bahwa Tuhan atau dewa-dewi tidak ada. Ateisme menolak realitas adikodrati yang mandiri dan realitas adikodrati yang diandaikan mempengaruhi realitas alam semesta ini.

          Ateisme dibagi menjadi tiga, yakni ateisme naif, ateisme praktis dan teoritas, serta ateisme materialitas dan positivitas. Ateisme naif mencoba untuk menjelaskan fenomen-fenomen yang ada dengan sebab-sebab alamiah, walaupun kadang-kadang penjelasannya masih bersifat naif, spekulatif, dan tidak konsisten. Ateisme praktis masih mempunyai keyakinan akan adanya Tuhan, tetapi dalam cara hidupnya ia menolak adanya Tuhan. Ateisme teoritis menolak adanya Tuhan karena keberadaan Tuhan dibuktikan dengan cara yang tidak memadai. Ateisme materialistis dan positivistis (yang menjadi riil dalam pandangan materialistis dan positivisme) menolak keberadaan realitas yang rohani dan transenden. Bila dikaji berdasarkan pada penalaran akal budi, manusia menemukan bahwa banyak hal dalam kehidupannya tidak memadai bila dijelaskan tanpa melibatkan adanya realitas tunggal yang transenden (yang oleh agama-agama disebut dengan istilah Tuhan) yang melampaui keberadaan manusia.

Dalam kaitannya dengan penghayatan hidup beragama, aliran ini perlu diwaspadai karena akan mengarahkan manusia pada penghayatan hidup yang terlepas dari Allah. Bagaimanapun juga, kehidupan dan kenyataan konkrit manusia tidak memadai kalau hanya dijelaskan berdasarkan pada kenyataan-kenyataan manusiawi dan duniawi. Banyak unsur misteri yang melingkupi kehidupan manusia yang tidak bisa dijelaskan tanpa melibatkan adanya Allah. Maka dari itu, ajaran paham ateisme perlu diwaspadai dan sangat tidak layak untuk diikuti dalam rangka mewujudkan penghayatan hidup beragama setiap orang. (memetjohan)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMAKNAI PERTOBATAN ; BERUBAH DAN BERBUAH !!

PERTOBATAN MEMBAWA KESELAMATAN

KEBIASAAN BAIK UMAT KATOLIK