PAHAM YANG MEMBAHAYAKAN HIDUP BERAGAMA
Pola hidup beragama setiap orang memiliki
keberagaman dalam praktek hidup sehari-hari, banyak hal yang bisa mempengaruhi
keberagaman tersebut. Ada yang memiliki perkembangan iman yang cukup bagus
karena dilatarbelakangi oleh pengetahuan yang cukup tentang apa yang
diimaninya, namun perkembangan iman juga dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan
usia dan lingkungan hidup sehari-hari. Dalam banyak hal yang ditemui dalam
praktek hidup sehari-hari ternyata banyak paham atau kebiasaan yang sangat
membahayakan dalam penghayatan hidup beragama. Sebagai insan yang beriman ada
tuntutan untuk sebisa mungkin menghindari paham-paham negatif yang kiranya bisa
mempengaruhi bahkan merusak perkembangan iman. Berikut ini adalah beberapa
paham hal yang bisa membahayakan penghayatan hidup beragama dan jalan keluar
bagaimana seharusnya menghindari [aham-paham negatif tersebut.
1. Hedonisme
Paham ini berpangkal pada pengalaman nikmat yang diperoleh manusia pada saat atau sesudah ia melakukan atau sudah berhasil melakukan sesuatu. Sebagai ciptaan Tuhan yang paling tinggi di muka bumi ini, manusia dibekali dengan perasaan nikmat : Nikmat biologis, nikmat indrawi, nikmat intelektual, nikmat estetis, dll. Berkat kemampuan-kemampuan yang dimiliki, manusia bisa merasakan berbagai macam kenikmatan. Maka kenikmatan sebetulnya adalah kenyataan hidup dari pengalaman manusiawi setiap orang. Dari latar belakang semacam itulah muncul paham hedonisme.
Secara etimologis, kata hedonisme berasal dari bahasa Yunani, Hedone, yang atinya adalah kenikmatan, kesenangan. Hedonisme sebetulnya berusaha menjawab pertanyaan esensial manusia berkaitan dengan cara yang harus ditempuh manusia untuk mencapai kebahagiaan. Menurut hedonisme, cara manusia mencapai kebahagiaan adalah dengan mencari nikmat dan menghindari hal-hal yang menyakitkan (hal-hal yang tidak nikmat).
Sebagai aliran, hedonisme mengajarkan bahwa kenikmatan (secara khusus kenikmatan pribadi) adalah nilai hidup tertinggi dan tujuan utama hidup manusia. Hedonisme dibagi menjadi dua, yakni hedonisme psikologis dan hedonisme etis. Hedonisme psikologis mengajarkan bahwa manusia dalam segala tindakannya hanya mencari nikmat dan menghindari hal-hal yang menyakitkan. Sementara hedonisme etis mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, manusia hendaknya mencari nikmat dan menghindari hal-hal yang menyakitkan.
Dalam
kaitannya dengan hidup beragama, hedonisme sangat membahayakan penghayatan
hidup beragama manusia. Bahwa tujuan manusia adalah mencapai kebahagiaan (yang
merupakan asumsi dasar hedonisme) kiranya bukan merupakan hal yang baru. Dalam
pandangan teologis, yang dimaksud kebahagiaan adalah persatuan dengan Allah,
yang dimaksud dengan “slamet” (Bhs.
Jawa) adalah juga persatuan dengan Allah, karena tujuan manusia pada hakekatnya
adalah bersatu dengan Allah. Tentu persatuan dengan Allah yang menjadi tujuan
setiap orang beragama ini dalam level horisontalnya tidak terlepas pula dari
persatuan dengan sesama.
Yang
menjadi masalah adalah “Bagaimana persatuan dengan Allah itu harus dicapai?”
Persatuan dengan Allah jelas tidak bisa dicapai hanya dengan mengejar
kenikmatan (seperti yang diajarkan oleh hedonisme). Pengalaman riil manusia
dalam usahanya mencapai persatuan dengan Allah tidak melulu berisi dan berupa
kenikmatan. Terkadang, dalam usahanya mencapai persatuan dengan Allah, manusia
harus rela berkorban, rela menderita, dan bahkan rela mengorbankan nyawanya.
Dalam
praktik hidup sehari-hari penghayatan hidup beragama juga tidak selalu memberi
kenikmatan. Yang terjadi biasanya adalah pengorbanan diri, pengendalian diri,
mati raga (askese). Untuk beribadat orang harus meluangkan waktu, untuk berdoa
pribadi, orang harus menyediakan waktu, untuk menolong sesama, orang harus rela
menanggalkan kenikmatan. Hedonisme, bila diikuti terus, justrus akan membawa
orang pada kemerosotan penghayatan hidup beragamanya. Maka dari itu, ajaran
hedonisme perlu diwaspadai dan sangat tidak memadai untuk diikuti dalam rangka
mewujudkan penghayatan hidup beragama setiap orang.
2. Individualisme
Paham
ini berpangkal pada kesadaran manusia akan dirinya. Manusia menyadari diri
bahwa sebagai ciptaan Tuhan yang tertinggi, berkat akal budi dan kehendak
bebasnya, ia merupakan ciptaan yang khas, unik, dan tak tergantikan. Dengan
latar belakang semacam inilah muncul paham individualisme.
Secara
etimologis, kata individualisme berasal dari bahasa latin, individuus, yang berarti perorangan, pribadi. Menurut
individualisme, perorangan memiliki kedudukan utama. Dasarnya adalah keunikan
masing-masing individu. Setiap individu adalah pribadi yang unik, otonom, dan
berdiri sendiri. Tujuan setiap individu adalah mencapai kepenuhan diri. Untuk
mencapai kepenuhan diri ini, setiap individu perlu dijaga dan dilindungi
kepentingannya. Dalam hal ini, yang bertugas adalah masyarakat dan negara.
Masyarakat dan negara bertugas menjaga dan memberi kemungkinan agar kebebasan
dan inisiatif seseorang disemua bidang kehidupan tidak terhambat.
Sebagai
aliran, individualisme mengajarkan bahwa dasar kehidupan adalah pribadi
perorangan. Norma dasarnya adalah kepentingan pribadi. Karena mengutamakan pada
kepentingan pribadi perorangan, aliran ini memandang masyarakat dan negara
hanya menjaga dan memberi kemungkinan agar kebabasan dan inisiatif seseorang
disemua bidang kehidupan tidak terhambat.
Dalam
kaitannya dengan penghayatan hidup beragama, individualisme akan membawa
persoalan yang sangat besar. Bahwa pribadi manusia itu unik dan berharga, dan
kepentingannya perlu dijaga dan dikembangkan, serta kebebasan dan inisiatifnya
perlu diberi ruang seluas-luasnya adalah hal yang benar. Tetapi kalau pribadi
perorangan dijadikan dasar maka akan muncul berbagai macam persoalan dan
kekeliruan.
Ajaran
individualisme akan membawa orang pada pola hidup “sakpenake dewe” (seenaknya sendiri), dan pola hidup semacam ini
akan sangat membahayakan penghayatan hidup beragama. Orang tidak lagi
memperhatikan norma-norma keagamaan (karena pedoaman utama hidupnya adalah
dirinya sendiri) yang mencoba menata kehidupannya agar kehidupan manusia itu
selaras dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Lambat laun, agama (beserta
dengan norma-normanya yang didasari oleh wahyu dan yang dalam iman ditanggapi
oleh manusia) akan pudar dan sama sekali tidak berperanan pada hidup manusia.
Bila dibiarkan terus, manusia yang mengikuti aliran individualisme akan
kehilangan orientasi hidupnya. Manusia sama sekali tidak menghayati dimensi
transendentalnya yang sebetulnya sangat membantu dirinya dalam mengarahkan
hidup pada Yang Illahi. Maka dari itu, ajaran individualisme perlu diwaspadai
dan sangat tidak memadai untuk diikuti dalam rangka mewujudkan penghayatan
hidup beragama setiap orang.
3. Laksisme
Sikap
hidup semacam ini muncul dengan latar belakang ketidakmudahan seseorang dalam
menjalani norma-norma yang ada di dalam kehidupan. Menjadi orang yang adil,
jujur, bersih dan sebagainya ternyata tidak mudah. Banyak hal yang harus
dikorbankan untuk mewujudkan keutamaan-keutamaan itu. Dengan berangkat pada
pemahaman semacam itu muncullah paham laksisme.
Semacam
etimologis, kata laksisme berasal dari bahasa latin, laxus, yang berarti longgar, kendor. Laksisme dibagi menjadi dua,
yakni laksisme lunak dan laksisme keras. Laksisme lunak berpendirian bahwa
prinsip dan norma kehidupan itu ada dan harus dilaksanakan, tetapi cara
pelaksanaannya sedapatnya dan semampunya saja. Jadi, laksisme lunak sebetulnya
mengakui adanya norma-norma dalam kehidupan ini dan norma-norma itu harus
ditaati. Tetapi dalam menaati norma-norma itu, laksisme lunak berusaha mencari
jalan untuk meringankan tuntutan dan bebannya. Korupsi memang dilarang, tetapi
bolehlah kalau korupsinya itu hanya sedikit : “orang banyak", nyontek itu
dilarang, tetapi demi nilai yang lebih baik bolehlah, hubungan seks diluar
nikah dilarang, tetapi kalau “suka sama suka” bolehlah, dan seterusnya.
Sementara
itu, laksisme keras juga mengakui adanya norma-norma dalam kehidupan. Paham ini
mengakui adanya yang baik dan yang jahat, ia juga tidak keberatan akan adanya
sanksi yang diterapkan. Keberatan laksisme adalah belum adanya kesepakatan
masyarakat tentang sesuatu yang disebut baik dan jahat.
Tuntutan
laksisme keras adalah adanya kesepakatan masyarakat. Sebagai contoh:
menggugurkan kandungan itu adalah suatu yang jahat, tetapi kalau menggugurkan
kandungan pada awal kehamilan, menurut laksisme keras, bukan merupakan sesuatu
yang jahat. Alasannya adalah masyarakat (para ahli) belum sepakat tentang kapan
mulainya manusia (yang tidak boleh dibunuh itu). Dalam bidang lain pun juga
demikian.
Dalam
kaitannya dengan penghayatan hidup beragama, laksisme merupakan ajaran hidup
yang membahayakan. Laksisme keras yang menuntut adanya kesepakatan dalam hal
norma akan membawa orang pada penghayatan hidup beragama yang legalistis. Orang
akan dibawa pada pola hidup yang menaati peraturan keagamaan itu hanya demikian
peraturannya saja, tanpa melihat nilai lain yang ada dibaliknya. Di samping
itu, bila hanya mengandalkan peraturan yang disepakati bersama, orang akan
dibawa pada pola hidup yang sempit, karena selalu harus mengandaikan terlebih
dahulu adanya peraturan yang disepakati bersama. Sementara itu, laksisme lunak
yang mengajarkan pelaksanaan prinsip-prinsip hidup tanpa adanya tuntutan dan
pengorbanan akan membawa manusia pada pola hidup yang minimalis. Orang tidak
lagi mau berkorban dan menuntut dirinya demi nilai lain yang pasti lebih
berharga. Pola hidup minimalis ini bila dibiarkan terus akan membawa orang pada
sikap permisivisme (mis : “Bila tidak
mampu sholat lima kali dalam sehari, ya sudahlah nggak apa-apa”, “ Bila tidak
bisa ke gereja pada hari minggu ini, ya sudahlah nggak apa-apa”, “Bila nggak
mampu berpuasa, ya sudahlah nggak apa-apa”, dst). Maka dari itu, ajaran
laksisme perlu diwaspadai dan sangat tidak memadai untuk diikuti dalam rangka
mewujudkan penghayatan hidup beragama setiap orang
4. Pragmatisme
Sikap
hidup semacam ini lahir dari kesadaran akan ketidak konsistenan dan ketidak
konsekuenan manusia dalam kehidupan dan kenyataan riil yang dijalaninya.
Misalnya : dalam masyarakat banyak dijumpai orang baik, tetapi kebaikan yang
ada itu hanya berhenti pada dirinya sendiri, tidak memiliki daya kreatif dan
inovatif bagi lingkungannya; banyak tokoh yang pandai memberi nasehat, tetapi
perilakunya tidak sesuai dengan yang diomongkan; semua agama mengajarkan
hal-hal yang baik, tetapi mengapa kehidupan ini tidak menjadi baik.
Persoalannya kemudian : “Apa gunanya orang baik kalau kebaikannya itu tidak
membawa kebaikan bagi sesama? Apa gunanya pandai memberi nasehat (tahu tentang
moral, etika, dll) kalau hidupnya sendiri tidak bermoral dan tidak etis? Apa
gunanya agama kalau tidak membuat penganutnya menjadi baik?” Dari situasi
semacam itulah muncul sikap hidup pragmatis.
Secara
etimologis, pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, pragmatikos, yang berarti : cakap dan berpengalaman dalam urusan
hukum, perkara negara dan dagang. Dalam bahasa Inggris, kata “pragmatikos”
menjadi “pragmatic” yang berarti “berkaitan dengan hal-hal praktis” atau
sejalan dengan aliran filsafat pragmatisme. Berpangkal dari pemahaman semacam
itu, arti pragmatisme bisa dua hal, yakni (1) aliran filsafat, (2) sikap
manusia dalam hidup yang menghadapi segala macam hal secara praktis (bukan
teoritis, ideal; yang penting hasilnya dapat dimanfaatkan).
Sebagai
aliran filsafat, pragmatisme berpendapat bahwa pengetahuan dicari bukan sekedar
untuk tahu, melainkan demi masyarakat dan dunia. Pengetahuan dicari demi
kebaikan, peningkatan, serta kemajuan masyarakat. Konsekuensi logisnya
kemudian, pengetahuan itu dibuktikan bukan hanya secara teoritis, melainkan
juga harus dibuktikan berdasarkan pada dapat tidaknya dilaksanakan dan
mendatangkan hasil konkrit bagi manusia. Pengetahuan, pemikiran, teori adalah
alat dan perencanaan untuk bertindak.
Sebagai
suatu sikap hidup, pragmatisme cenderung mengajarkan sikap hidup yang serba
praktis dalam menghadapi berbagai macam persoalan yang dijumpai. Yang penting
adalah hasil konkritnya. Yang ditekankan adalah kesederhanaan, kepraktisan,
kemudahan, dampak positifnya, dan manfaat.
Kendati
ada beberapa aspek positif yang disumbangkan pragmatisme dalam rangka
penghayatan hidup beragama, namun pragmatisme akan menimbulkan berbagai macam
goncangan. Alasannya adalah karena mengajak manusia untuk cenderung serba
praktis dalam menghadapi berbagai macam persoalan hidup yang dijalani. Yang
ditekankan adalah kesederhanaan, kepraktisan, kemudahan, dampak positifnya, dan
manfaat. Dampaknya : pragmatisme akan membawa orang pada penghayatan yang
sempit akan kebenaran-kebenaran hidup.
Dalam
hidup beragama, seseorang pasti akan berjumpa dengan berbagai macam kebenaran.
Tidak semua kebenaran yang dijumpainya itu dapat dilaksanakan, dapat
dipraktekkan, dan membawa dampak nyata bagi kehidupan manusia. Sebagai salah
satu contoh adalah kebenaran bahwa hidup manusia tergantung pada Allah.
Bagaimana kebenaran itu dapat dipraktekkan secara langsung? Padahal, sebagai
kebenaran, pernyataan itu tidak terbantahkan. Maka dari itu, ajaran pragmatisme
perlu diwaspadai dan sangat tidak memadai untuk diikuti dalam rangka mewujudkan
penghayatan hidup beragama setiap orang.
5. Permisivisme
Berpangkal
pada kenyataan hidup konkrit kiranya tampak jelas bahwa hidup manusia ditata
dengan peraturan, hukum, dan undang-undang. Walaupun sederhana, setiap orang
memiliki pegangan hidup, jadwal hidup, jadwal kerja, dan tata tertib yang
ditaati. Setiap keluarga yang normal pasti memiliki pegangan dan pedoman yang
dipatuhi bersama. Setiap masyarakat memiliki hukum yang disertai dengan
sanksi-sanksi yang jelas dan tegas. Setiap negara memiliki undang-undang dan
seperangkat peraturan lain yang bertujuan untuk menata kehidupan negara
tersebut.
Meski
setiap orang memiliki kesadaran bahwa hidup manusia ditata dengan peraturan,
hukum, dan undang-undang, namun tetap saja ada orang yang hidup, berperilaku,
dan bersikap seolah-olah tidak ada peraturan, hukum dan undang-undang. Alasan
yang muncul juga bermacam-macam : (1) bisa karena pribadi yang bersangkutan
memang tidak tahu adanya hukum dan peraturan yang berlaku, (2) bisa karena
pribadi yang bersangkutan memang tidak mampu mengenal dan memahami hukum karena
kondisinya yang tidak memungkinkan (mis. Cacat mental), (3) bisa karena pribadi
yang bersangkutan mau memberontak terhadap tatanan etis yang ada, (4) bisa
karena pribadi yang bersangkutan mau mengubah tatanan yang dianggap sudah tidak
sesuai dengan perkembangan jaman dan tuntutan jaman, dan (5) bisa juga karena
pribadi yang bersangkutan hanya sekedar ikut-ikutan. Kondisi semacam itulah
yang melatarbelakangi munculnya sikap hidup permisivisme.
Secara
etimologis, permisivisme berasal dari bahasa Inggris, permissive, yang berarti serba membolehkan. Permisivisme adalah
pandangan dan sikap yang membolehkan segala-galanya, seolah-olah dalam hidup
ini tidak ada peraturan, hukum dan undang-undang. Orang permisif berbuat
semaunya. Dalam pergaulan orang model ini berperilaku seolah-olah tidak ada
kebiasaan, adat, dan sopan santun. Dalam masyarakat ia bertindak seolah-olah
tidak ada peraturan, hukum, dan undang-undang. Semuanya itu dilakukan dengan
ringan, tanpa beban dan tanpa takut adanya sanksi. Segala cara hidup, perilaku,
dan perbuatan (juga yang termasuk melanggar hukum, norma, dan peraturan) boleh
dijalankan.
Dalam
kaitannya dengan penghayatan hidup beragama, ajaran ini akan membawa orang pada
pola hidup yang minimalis, semuanya serba boleh (mis : “Bila tidak mampu sholat lima kali dalam sehari, ya sudahlah nggak
apa-apa”, “Bila tidak bisa ke gereja pada hari minggu ini, ya sudahlah nggak
apa-apa”, “Bila nggak mampu berpuasa, ya sudahlah nggak apa-apa”, dst).
Ajaran permisivisme, bila dibiarkan terus akan searah dengan individualisme,
yakni membawa orang pada pola hidup "semau
gue" dan pola hidup semacam ini akan sangat membahayakan penghayatan
hidup beragama. Orang tidak lagi memperhatikan norma-norma yang mencoba menata
kehidupannya agar kehidupan manusia itu selaras dengan apa yang dikehendaki
oleh Allah. Lambat laun, agama akan pudar dan sama sekali tidak berperanan pada
hidup manusia. Bila dibiarkan terus, manusia yang mengikuti aliran permisivisme
juga akan kehilangan arah hidupnya. Manusia sama sekali tidak menghayati
dimensi transendentalnya yang sebetulnya sangat membantu dirinya dalam
mengarahkan hidup pada yang ilahi. Maka dari itu, ajaran permisivisme perlu
diwaspadai dan sangat tidak memadai untuk diikuti dalam rangka mewujudkan
penghayatan hidup beragama setiap orang.
6. Sekularisme
Secara
etimologis, sekularisme berasal dari bahasa latin, saeculum, yang berarti dunia, alam-semesta, kosmos. Ajaran ini
sangat menekankan faktor-faktor duniawi, profan, sebagai keterangan dan sebab
terakhir dari alam semesta dan kejadian dalam dunia. Disamping itu, sekularisme
juga menekankan hasil otak manusia yang berupa pertimbangan dan ilmu-ilmu
modern sebagai pedoman bagi kelakuan dan aktivitas manusia. Konsekuensi
praktisnya : Allah tidak dibutuhkan lagi. Keberadaan Allah disangkal, bahkan Ia
dipahami telah mati.
Konsep
sekularisme akan membawa orang pada suatu kesombongan manusiawi yang
mengandalkan kemampuan akal budinya. Semua yang terjadi dan dialami oleh
manusia hanyalah pengalaman manusiawi belaka dan bisa dijelaskan pula dengan
cara manusiawi. Kalau terjadi banjir, itu terjadi karena kesalahan manusia yang
(misalnya) menebang hutan secara sembarangan, kalau terjadi wabah penyakit, itu
terjadi karena kesalahan manusia yang (misalnya) malas menjaga kebersihan lingkungannya,
kalau terjadi peperangan, itu terjadi karena kesalahan manusia yang (misalnya)
serakah dan ingin menguasai alam semesta ini dengan tanpa memperhitungkan
sesamanya, kalau terjadi kejahatan, itu terjadi karena manusia yang (misalnya)
iri hati dengan kesuksesan dan keberhasilan sesamanya, dan demikian seterusnya.
Semua yang terjadi dan dialami oleh manusia hanyalah pengalaman manusiawi dan
bisa dijelaskan pula secara manusiawi.
Akan
tetapi, pandangan ini jelas tidak sesuai dengan pengalaman hidup manusia. Ada
pengalaman-pengalaman tertentu yang tidak cukup dan tidak memadai bila
dijelaskan hanya secara manusiawi. Misalnya : masalah kelahiran, masalah
kematian, masalah keterbatasan manusia, dan sebagainya. Pandangan ini
sebetulnya sudah gugur bila dipertemukan dengan pengalaman riil hidup manusia.
Dalam kaitannya dengan penghayatan hidup beragama, ajaran
ini perlu diwaspadai. Dengan kemampuan berfikirnya, manusia bisa menciptakan
berbagai macam hal yang membawa kesejahteraan bagi hidupnya : semua persoalan
bisa dipecahkan dan bisa diatasi berkat kemampuan yang dimilikinya, semua
misteri dan ketidaktahuan bisa terkuak berkat adanya berbagai macam penelitian
dan percobaan, dan demikian seterusnya. Akhirnya sikap dan ajaran ini akan
mengarahkan manusia pada suatu pemahaman bahwa dirinya dan dunianya merupakan
suatu realitas yang otonom yang tidak memiliki keterarahan kepada Tuhan.
Konsekuensi logisnya : peranan Allah akan semakin diminimalkan dan akhirnya
hilang sama sekali. Keterarahan manusia dan seluruh alam semesta pada Allah
yang selama ini dipahami ada menjadi musnah. Maka dari itu, ajaran paham
sekularisme perlu diwaspadai dan sangat tidak memadai untuk diikuti dalam
rangka mewujudkan penghayatan hidup beragama setiap orang.
7.
Ateisme
Secara etimologis, ateisme berasal
dari bahasa Yunani, a yang arinya tidak dan theos yang artinya Tuhan.
Artinya adalah tanpa Tuhan secara sederhana, ateisme mengajarkan bahwa Tuhan
atau dewa-dewi tidak ada. Ateisme menolak realitas adikodrati yang mandiri dan realitas
adikodrati yang diandaikan mempengaruhi realitas alam semesta ini.
Ateisme
dibagi menjadi tiga, yakni ateisme naif,
ateisme praktis dan teoritas, serta ateisme
materialitas dan positivitas. Ateisme naif mencoba untuk menjelaskan
fenomen-fenomen yang ada dengan sebab-sebab alamiah, walaupun kadang-kadang
penjelasannya masih bersifat naif, spekulatif, dan tidak konsisten. Ateisme
praktis masih mempunyai keyakinan akan adanya Tuhan, tetapi dalam cara hidupnya
ia menolak adanya Tuhan. Ateisme teoritis menolak adanya Tuhan karena
keberadaan Tuhan dibuktikan dengan cara yang tidak memadai. Ateisme
materialistis dan positivistis (yang menjadi riil dalam pandangan materialistis
dan positivisme) menolak keberadaan realitas yang rohani dan transenden. Bila
dikaji berdasarkan pada penalaran akal budi, manusia menemukan bahwa banyak hal
dalam kehidupannya tidak memadai bila dijelaskan tanpa melibatkan adanya
realitas tunggal yang transenden (yang oleh agama-agama disebut dengan istilah
Tuhan) yang melampaui keberadaan manusia.
Dalam kaitannya dengan penghayatan hidup beragama, aliran ini perlu diwaspadai karena akan mengarahkan manusia pada penghayatan hidup yang terlepas dari Allah. Bagaimanapun juga, kehidupan dan kenyataan konkrit manusia tidak memadai kalau hanya dijelaskan berdasarkan pada kenyataan-kenyataan manusiawi dan duniawi. Banyak unsur misteri yang melingkupi kehidupan manusia yang tidak bisa dijelaskan tanpa melibatkan adanya Allah. Maka dari itu, ajaran paham ateisme perlu diwaspadai dan sangat tidak layak untuk diikuti dalam rangka mewujudkan penghayatan hidup beragama setiap orang. (memetjohan)
Komentar
Posting Komentar